Kereta api: Cepat dan ralat

Cepat jadi mantra agar terjadi peningkatan etos kerja, pariwisata, dan investasi.

Bandung Mawardi

Berita terbaru diberikan ke publik. Pada 2 Februari 2020, pemerintah mengumumkan penghentian sementara kegiatan-kegiatan di proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Pengumuman itu membuat "cepat selesai" bisa diralat untuk mewujudkan kereta cepat. Konon, pemerintah ingin kereta cepat sudah bisa beroperasi pada 2021. Sejak digagas dan dilaksanakan, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sering menjadi polemik dan bergelimang masalah. "Cepat" itu masalah. Dulu, "cepat" sudah masalah bagi orang-orang takjub dan takut melihat dan naik kereta api. 

Sejak awal abad XX, kaum pribumi bepergian naik kereta api. Di kereta api, mereka mengalami keajaiban cap modernitas. Lokomotif dan gerbong bergerak cepat di atas rel, melintasi desa-desa dan kota-kota. Posisi duduk atau berdiri bakal membuat penumpang kereta api serasa melihat segala hal di luar berlari cepat. Kereta api di Hindia Belanda memberi sihir kecepatan. Suara kereta api turut mencipta orkes "kemadjoean".

Siapa mau naik kereta api? Pada 1934, Ibu Soed menggubah lagu berjudul "Kereta Apikoe" untuk ekspresi kegirangan bocah mengalami perjalanan dengan naik kereta api. Lagu bersahaja tapi selalu disenandungkan sampai sekarang. Lirik-lirik gampang diingat: Naik kereta api toet toet toet/ Siapa hendak toeroet/ Ke Bandoeng-Soerabaja/ Bolehlah naik dengan pertjoema/ Ajo temankoe lekas naik/ Keretakoe tak berhenti lama// Tjepat keretakoe berdjalan toet toet toet/ Banjak penoempang toeroet/ Keretakoe soedah penat/ Karena beban terlaloe berat/ Di sinilah ada stasioen/ Penoempang moelai toeroen.

Kereta itu kecepatan! Penumpang memang menginginkan cepat, cepat, cepat. Hasrat untuk cepat dengan peningkatan jumlah penumpang di gerbong-gerbong membuat kereta api "penat" akibat "berat". Perjalanan di atas rel itu cepat. Kereta api telah jadi idaman.

Pengalaman naik kereta api tak selalu girang. Kereta api juga ingatan sedih dan derita. Di majalah Kadjawen edisi 12 November 1938, Saniki asal Bandung menulis pengalaman naik kereta api, lima belas tahun silam. Tulisan berjudul "Njepoer." Saniki terkena sihir kereta api sehari sebelum berhasil berada dalam gerbong. Perut tak merasa lapar, susah tidur. Saniki terlalu girang mengandaikan diri benar-benar naik kereta api. Girang terpenuhi saat Saniki, ibu, dan adik-adik berhasil berada di gerbong. Saniki bercerita: Sasoewene akoe mapan loenggoeh sing takdelok moeng kaanan ing djeron sepoer, akoe goemoen, dadi mangkono sepoer ikoe. Bocah itu goemoen, kagum tiada tara. Goemoen semakin menjadi saat melihat di luar: ... weroeh wit-witan pada mlajoe-mlajoe kaja lagi pada boeron. Pohon-pohon terlihat seperti berlari kencang. Sekian keajaiban terjadi saat naik kereta api. Girang dan "goemoen" cuma sesaat. Perjalanan selama hampir 11 jam membuat Saniki pusing dan muntah. Selama di kereta api, Saniki sedih. Kereta api malah bercerita derita bocah: pusing, muntah, lapar, dan lelah.