Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memperkirakan cicilan utang kereta cepat Whoosh sebesar Rp2 triliun per tahun bisa ditanggung oleh Danantara. Dirinya menegaskan tidak seharusnya ada hambatan dalam pembayaran cicilan utang proyek kereta cepat Whoosh sepanjang struktur keuangannya disusun dengan baik.
Pasalnya, Danantara terima dividen dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hampir Rp90 triliun. Maka dari itu ia meyakini, penerimaan dividen tersebut cenderung meningkat setiap tahun. Sehingga ruang fiskal Danantara akan mencukupi.
"Dan saya yakin uangnya juga setiap tahun akan lebih banyak, Rp90 triliun akan lebih,” katanya setelah menghadiri rapat perdananya sebagai dewan pengawas Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) di kantor Wisma Danantara, Rabu (15/10).
Ekonom Anthony Budiawan mengatakan beban bunga dari pembiayaan proyek tersebut terlalu berat jika dibandingkan dengan skema pinjaman negara lain.
“Beban bunga untuk operasional ini sangat memberatkan. Kalau dengan Jepang itu 0,1% per tahun. Nah kalau dengan China 2% per tahun. Jadi 20 kali. Kemudian yang cost overrun, yang pembengkakan biaya itu malah 34 kali, 3,4%,” katanya.
Sementara itu, pemerhati transportasi Muhammad Akbar menilai, pencapaian teknologi Whoosh patut diapresiasi. Namun tanpa pemahaman utuh tentang kebiasaan bepergian masyarakat, kecepatan fantastis itu justru berpotensi sia-sia.
Konsekuensinya, kata dia pertumbuhan penumpangnya pun berjalan lambat, sebuah ironi yang justru bertolak belakang dengan semangat akselerasi yang diusung. Alhasil, jumlah penumpang Whoosh masih jauh dari target. Kerugian operasional pun tak terelakkan.
“Menteri Keuangan memang bersikukuh beban ini bukan tanggungan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), melainkan sepenuhnya berada di pundak korporasi. Namun realitanya lebih kompleks,” ujarnya kepada Alinea.id, Selasa (21/10).
Menurutnya, kerugian Whoosh pada akhirnya berpotensi berdampak tidak langsung pada publik. Misalnya mulai dari tertundanya proyek strategis lain yang lebih mendesak, hingga permohonan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk menutupi defisit.
Dampaknya bisa merambat ke berbagai sisi. Kualitas layanan berisiko stagnan, investasi baru terhambat, dan kepercayaan publik semakin terkikis. Dengan kata lain, meskipun negara berusaha menjaga jarak, gelombang efek finansial Whoosh pada akhirnya tetap akan sampai ke masyarakat secara langsung maupun tidak.
“Meski dibayangi tantangan finansial, Whoosh belum kehilangan harapan. Kunci utamanya terletak pada kemampuan pemerintah dan operator dalam merancang strategi jangka panjang yang adaptif. Bukan sekadar mengejar break-even point, melainkan menciptakan nilai tambah berkelanjutan,” jelasnya.