Kasus doxing yang terjadi beberapa waktu terakhir mencerminkan krisis serius dalam perlindungan kebebasan berpendapat di ruang digital Indonesia.
Kasus doxing baru-baru ini yang menimpa Neni Nurhayati, Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership, mencerminkan krisis serius dalam perlindungan kebebasan berpendapat di ruang digital Indonesia. Setelah mengkritisi anggaran publikasi pemerintah yang melibatkan pendengung, dua akun media sosial pribadinya diserang secara brutal pada pertengahan Juli lalu. Ia menerima ancaman kekerasan fisik dan pembunuhan. Neni menyebut ini sebagai serangan paling ekstrem sepanjang kiprahnya sebagai aktivis pemilu.
Situasi serupa pernah dialami Fatrisia Ain, aktivis perempuan asal Buol, Sulawesi Tengah. Ia diteror secara daring setelah mendampingi masyarakat adat yang menolak ekspansi sawit perusahaan milik konglomerat nasional. Dalam kasus lain, peneliti dari Indonesian Corruption Watch juga menjadi korban penyebaran data pribadi setelah memberikan tanggapan atas laporan investigasi yang menyoroti kepemimpinan nasional.
Polanya berulang. Data pribadi disebarluaskan tanpa izin. Dalam kasus Neni, pelaku justru berasal dari lembaga negara. Dalam kasus lainnya, dilakukan oleh pihak anonim. Ini menandakan darurat pengawasan data pribadi di negeri ini.
Di dunia internasional, situasinya juga mengkhawatirkan. Laporan Global Witness yang dikutip oleh The Guardian menyebut bahwa sembilan dari sepuluh aktivis lingkungan pernah mengalami serangan digital. Survei terhadap dua ratus responden di lima puluh negara menunjukkan peningkatan signifikan dalam intimidasi di media sosial dan penyebaran data pribadi. Facebook menjadi platform yang paling sering digunakan untuk menyerang, terutama terhadap perempuan muda. Ironisnya, Meta justru mencabut perlindungan khusus bagi para aktivis awal tahun ini. Akibatnya, dari seratus dua puluh enam laporan yang diterima, mayoritas tidak ditindaklanjuti.
Lalu mengapa semua ini terus terjadi? Mengapa mereka yang bersuara kritis justru dianggap musuh? Penulis melihat setidaknya ada tiga persoalan pokok.