close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menunjukkan dokumen RUU yang baru ia tandatangani di Gedung Putih, Washington DC, AS, Juli 2025. /Foto Intagram @realdonaldtrump
icon caption
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menunjukkan dokumen RUU yang baru ia tandatangani di Gedung Putih, Washington DC, AS, Juli 2025. /Foto Intagram @realdonaldtrump
Peristiwa
Kamis, 24 Juli 2025 07:14

Saat RI mempertaruhkan data pribadi di meja perundingan Trump

Gedung Putih menuntut Indonesia memberikan kepastian mengenai kemampuan untuk memindahkan data pribadi dari wilayahnya ke AS.
swipe

Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Indonesia akhirnya menyepakati kerangka kerja perjanjian perdagangan resiprokal. Dalam kesepakatan final itu, tarif bea impor untuk barang masuk dari Indonesia ke AS tetap 19%. Sebagai timbal balik, barang-barang dari AS ke Indonesia dikenakan tarif nol persen. 

AS dan RI juga menyepakati sejumlah poin dalam perjanjian resiprokal. Dalam lembar fakta yang dirilis Gedung Putih, Selasa (22/7), Indonesia dituntut memberikan kepastian mengenai kemampuan untuk memindahkan data pribadi dari wilayahnya ke AS. 

Dalam skema itu, RI mengakui AS sebagai negara atau yurisdiksi yang menyediakan perlindungan data yang memadai berdasarkan hukum Indonesia. "Perusahaan-perusahaan Amerika telah menunggu reformasi ini selama bertahun-tahun," ucap Gedung Putih

Analis menilai AS menuntut kepastian ketentuan pertukaran data pribadi dari Indonesia. Sebagai konsekuensi, pemerintah Indonesia harus segera menyelesaikan peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP dan segera membentuk lembaga pengawas pelindungan data pribadi. 

Peneliti di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Parasurama Pamungkas menilai kesepakatan dagang yang dicapai antara RI dan AS terkesan timpang jika Indonesia turut mempertaruhkan perlindungan data pribadi di meja perundingan. Menurut dia, mustahil memindahkan data pribadi ke AS memberi keuntungan bagi Indonesia karena regulasi dan perbedaan nilai-nilai fundamental di antara kedua negara. 

"Dengan perbedaan nilai fundamental, negosiasi apa pun mengenai konvergensi atau pengakuan bersama atas pelindungan privasi akan terasa utopis. Apalagi ketika perjanjian perdagangan bebas yang dinegosiasikan dipengaruhi oleh kepentingan bisnis yang kuat. Hasilnya adalah pelemahan pelindungan privasi," kata Parasurama melalui keterangan tertulisnya yang diterima Alinea.id, Rabu (25/7).

Parasurama menilai kesepakatan ekonomi antara Indonesia dan AS tidak yang menyertai pemindahan data pribadi ke AS sulit diharapkan berporos pada perlindungan subjek. Kesepakatan itu lebih menekankan pada orientasi bisnis perusahaan-perusahaan di bawah yuridiksi AS yang bergerak di bidang penyimpanan data.

Selain itu, kesepakatan itu juga berpotensi memicu ancaman pemantauan massal (mass surveillance) oleh Amerika Serikat terhadap warga Indonesia. Pasal 702 dari Undang-Undang Pengawasan Intelijen Asing (FISA) memberikan kewenangan kepada pemerintah AS untuk mengakses komunikasi pihak asing yang berada di luar yurisdiksi teritorial AS.

"Mekanisme pengumpulan dan penyimpanan data yang berlangsung melalui infrastruktur digital yang berbasis di wilayah AS, akan memberikan legitimasi hukum untuk mengakses informasi yang tersimpan di server mereka," tutur dia. 

Perlindungan data dan privasi di AS, menurut Parasurama bukanlah yang terbaik di dunia. Ia menyinggung isi putusan Schrems II oleh Mahkamah Eropa (Court of Justice of the European Union/CJEU) yang dijatuhkan pada tahun 2020. 

Di lain sisi, ada kerumitan tersendiri jika merujuk UU PDP yang mewajibkan agar transfer data pribadi ke pengendali atau pemroses data di luar yurisdiksi. Pada beleid itu, ditegaskan bahwa pengendali atau pemroses data wajib memastikan bahwa negara domisili pihak penerima transfer memiliki tingkat pelindungan data pribadi yang setara atau lebih tinggi dibandingkan dengan yang diatur dalam UU PDP.

"Hal ini menunjukkan hubungan kompleks antara cross border data flows dengan perjanjian perdagangan, hak asasi manusia, dan keamanan nasional. Titik kritisnya justru berada pada level kesetaraan antara Indonesia dan Amerika Serikat," kata Parasurama. 
 
Selain menyiapkan aturan turunan UU PDP dan lembaga pemantau, menurut Parasurama, pemerintah perlu segera memastikan mekanisme akuntabilitas yang memadai untuk mengontrol transfer data pribadi ke luar negeri dan melakukan harmonisasi regulasi sektoral yang memungkinkan transfer data.

"Pengendali data baik privat maupun publik yang mentransfer data ke luar Indonesia harus melakukan penilaian risiko dan mengambil langkah-langkah untuk memastikan pelindungan data berdasarkan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi dan turunannya," kata Parasurama. 

Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja berpandangan kesepakatan pemindahan data dari Indonesia ke AS berisiko. Hingga kini, pemerintah belum pernah mengukur pemahaman masyarakat tentang UU PDP.

"Pemerintah terlalu berani menjadikan data publik sebagai komoditas perundingan perdagangan. Data pribadi adalah inti dari keamanan dan ketahanan siber masional. Kalau sudah ter-compromise, ini akan jadi ancaman keamanan nasional," kata Ardi kepada Alinea.id. 

Menurut Ardi, pemerintah Indonesia terkesan tergesa-gesa saat menyekapakati tuntutan-tuntutan AS dalam perjanjian dagang respirokal. Respons reaktif itu, kata dia, akan merugikan Indonesia dalam jangka panjang. 

"Ini merupakan cerminan masyarakat kita pada umumnya yang tahu cuma tekan tombol di handphone tanpa berpikir apa yang akan terjadi kemudian. Ini juga cerminan bahwa kita sesungguhnya belum memiliki budaya dan pola pikir digital dan budaya sadar risiko," kata Ardi.


 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan