Membangun dan merusak

Dengan alasan pembangunan (building) ternyata menyengsarakan manusia akibat rusaknya alam

Membangun identik dengan merusak. Sudah hadir sebagai sebuah ketetapan jauh-jauh waktu dulu. Tak perlu dicari alasannya, sebab kita bisa saksikan kenyataannya saat ini. Apa yang tak rusak di alam ini sekarang?

Padahal ajaran agama dan pemikiran para filosof mengatakan, membangun sekedar tempat bermukim. Kalau pun ada kelebihan kemajuan Iptek seharusnya diperuntukkan mensejahterakan manusia dan memuliakan alam. 

Martin Heidegger, enam puluh enam tahun lalu (1951) sudah menggemakan prinsip manusia tak boleh menganggap alam sebagai benda mati yang bisa sesukanya dieksploitasi. Tujuan pembangunan selama ini sangat kontradiktif, disebut sebagai usaha, semacam benda yang diperdagangkan. Dengan alasan pembangunan (building) ternyata menyengsarakan manusia akibat rusaknya alam. Mari telusuri sungai yang tercemar, hutan yang gundul, danau yang kering dan keruh? Ada di mana-mana, apalagi di negara kita ini.

Bom atom dengan hasil penembakan unsur radioaktif yang rumusnya ditemukan oleh Albert Einstein berbuah kesengsaraan. Rasa sakit oleh bom atom yang harus diderita manusia begitu mengenaskan. Membuat manusia semakin memperlihatkan naluri kebinatangannya. Muncul saja keinginan untuk menghancurkan kehidupan orang lain dengan cara menembak atau mengebom manusia lain. Daging-daging terlepas dari tulang tempat ia melengket. Atau tulang-tulang hancur mengabu oleh dahsyatnya nuklir. 

Memang manusia akan berproses menjadi mati. Namun kematian ini yang menjadi persoalan dunia terus menerus sampai kini. Mematikan manusia lain seolah menghidupkan si pembunuh. Andai saja Donald Trump memang mengingini Yerusalem sebagai ibukota Israel, apa tidak bisa dilakukan dengan jalan perdamaian. Tidak sebagai kini, ratusan manusia harus mati dengan tembakan, bom dan berbagai penyakit lainnya.