close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi radioaktif./Foto rabedirkwennigsen/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi radioaktif./Foto rabedirkwennigsen/Pixabay.com
Peristiwa - Lingkungan
Rabu, 01 Oktober 2025 13:25

Yang perlu diketahui soal radiasi sesium-137 di Cikande

Seberapa bahaya paparannya?
swipe

Pemerintah sudah membentuk satuan tugas (satgas) untuk mengatasi penanganan paparan radiasi sesium-137 di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten. Tujuannya, memperketat pengendalian dan melakukan langkah dekontaminasi di beberapa titik paparan.

“Mulai hari ini, satgas sesium-137 memutuskan Kawasan Industri Modern Cikande dengan status kejadian khusus cemaran radiasi,” ujar Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol di Kabupaten Serang, Banten, Selasa (30/9), dikutip dari Antara.

“Besok (1/10) semua kegiatan keluar-masuk akan dikontrol lewat radiation portal monitoring. Sambil menunggu pemasangan, pengawasan manual dilakukan dengan detektor milik Polri, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).”

Apa itu sesium-137?

Environmental Protection Agency (EPA) atau Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat menyebut, sesium adalah logam lunak, fleksibel, berwarna putih keperakan yang mencair mendekati suhu ruangan, tetapi mudah berikatan dengan klorida membentuk bubuk kristal. Bentuk radioaktif sesium yang paling umum adalah sesium-137 (Cs-137).

Sesium-137, sebut EPA, diproduksi lewat reaksi nuklir, banyak digunakan dalam peralatan medis maupun alat ukur. Selain itu, sesium-137 adalah produk sampingan dari reaktor nuklir dan uji coba senjata nuklir.

Sesium-137 punya banyak kegunaan. Dalam jumlah kecil, bisa dipakai untuk kalibrasi alat deteksi radiasi seperti penghitung Geiger-Mueller. Dalam jumlah lebih besar, Cs-137 digunakan pada perangkat terapi radiasi medis untuk pengobatan kanker, alat industri yang mendeteksi aliran cairan dalam pipa, serta perangkat pengukur ketebalan bahan seperti kertas atau lembaran logam.

Di lingkungan, sifatnya mirip dengan garam dapur. Dia mudah bergerak melalui udara, mudah larut dalam air, dapat terikat kuat pada tanah dan beton, serta tumbuhan yang tumbuh di tanah terkontaminasi.

“Jejak Cs-137 dapat ditemukan di lingkungan akibat uji coba senjata nuklir maupun kecelakaan reaktor nuklir,” tulis EPA.

EPA mengingatkan, paparan terhadap sesium-137 dalam jumlah besar menyebabkan luka bakar, penyakit radiasi akut, bahkan kematian. Paparan sesium-137 dalam jumlah besar ini, menurut EPA, bisa terjadi akibat kesalahan penanganan sumber industri yang kuat, ledakan nuklir, atau kecelakaan nuklir besar.

“Dalam kondisi normal, Cs-137 jumlah besar tidak ditemukan di lingkungan,” tulis EPA.

Radiasi gamma berenergi tinggi dari Cs-137 juga dapat meningkatkan risiko kanker. Jika Cs-137 masuk ke dalam tubuh lewat makanan atau udara yang terhirup, zat radioaktif ini dapat menyebar ke jaringan lunak, terutama otot, sehingga risiko kanker semakin meningkat.

Bagaimana kasus ini bermula?

Pada awal Agustus 2025, Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat mendeteksi adanya radionuklida sesium-137 pada satu sampel udang beku asal Indonesia. FDA kemudian menambahkan PT Bahari Makmur Sejati ke dalam peringatan impor #99-51 terkait kontaminasi kimia.

Dengan peringatan ini, produk udang dari perusahaan itu dihentikan masuk ke Amerika Serikat hingga dapat membuktikan masalah yang menyebabkan pelanggaran diselesaikan. Selain itu, dari hasil penyaringan lanjutan, FDA kembali menemukan Cs-137 pada satu sampel cengkeh dari PT Natural Java Spice di Indonesia.

Menurut pakar kedokteran nuklir di Georgia Institute of Technology, Steve Biegalski seperti dikutip dari Independent, ada kemungkinan kontaminasi berasal dari daur ulang peralatan medis lama yang mengandung sesium-137.

“Wadah yang terkontaminasi atau metode pengiriman, seperti truk, kapal, atau material bersama juga bisa menjadi sumbernya,” kata Biegalski.

Sementara menurut International Atomic Energy Agency (IAEA), besi tua yang terkontaminasi atau logam cair di lokasi industri dekat pabrik pengolahan udang, kemungkinan adalah sumber bahan radioaktif.

Dari temuan FDA ini, pemerintah merespons dengan membentuk satgas untuk menyelidikinya. Hasilnya, dikutip dari Antara, sumber kontaminasi berasal dari pabrik baja PT Peter Metal Technology (PMT) di Kawasan Industri Modern Cikande, yang menggunakan bahan baku berupa serbuk besi bekas.

Paparan radiasi diduga menyebar lewat udara ke PT Bahari Makmur Sejati yang jaraknya kurang dari dua kilometer dari pabrik baja itu. Pemerintah pun menemukan 14 kontainer yang isinya scrap dari Filipina di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, terpapar Cs-137.

Pertengahan September 2025, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) akhirnya menyegel pabrik PT Peter Metal Technology, yang diduga menjadi sumber paparan sesium-137.

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol juga menegaskan, paparan sesium-137 diduga masuk dari luar negeri.

“Berdasarkan penjelasan para ahli, unsur ini hanya diproduksi dari reaktor nuklir karena di Indonesia tidak ada reaktor nuklir, dimungkinkan cemaran ini berasal dari negara lain yang kemudian masuk tanpa terkontrol,” ucap Hanif di Serang, Banten, Selasa (23/9), dikutip dari Antara.

Hanif pun memastikan, kondisi lingkungan sudah terkendali. Nilai radiasi sudah turun menjadi 0,04 mikrosievert per jam, sama dengan kondisi normal. Walau demikian, berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan, sudah ada beberapa warga sekitar lokasi yang teridentifikasi terpapar radiasi.

Pada awal 2020, kasus serupa pernah terjadi di kawasan perumahan Batan Indah di Tangerang Selatan.

Bagaimana mencegah kasus serupa?

Pemerintah menyiapkan fasilitas penyimpanan sementara limbah sesium-137 di kawasan industri Cikande. Dikutip dari Antara, fasilitas penyimpanan itu akan dibangun dalam waktu dekat supaya hasil dekontaminasi tak tertimbun di gudang PT Peter Metal Technology. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol menargetkan, pembangunannya bisa selesai dalam waktu sebulan.

Hanif mengatakan, fasilitas penyimpanan sementara bakal digunakan selama satu hingga dua tahun, hingga pemerintah membangun fasilitas jangka panjang. Rencananya bakal dibangun mulai 2026.

Terkait udang beku yang tercemar sesium-137, dosen teknologi hasil perikanan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Indun Dewi Puspita mengatakan, sumber kontaminasi merupakan hasil aktivitas manusia, seperti uji coba senjata nuklir atau kebocoran reaktor.

Sifat sesium-137 yang tahan lama membuatnya berpotensi masuk ke rantai makanan, misalnya lewat air tercemar atau kolam budidaya. “Siklus alami memungkinkan zat ini menyebar di lingkungan perairan dan memengaruhi organisme, termasuk udang,” ujar Indun, dikutip dari situs Universitas Gadjah Mada.

Indun menekankan pentingnya sistem jaminan mutu dan ketertelusuran yang lebih kuat dalam industri perikanan Indonesia agar potensi bahaya bisa diminmalisir sejak awal. Solusi jangka panjang, dia menyoroti peran universitas dalam mendukung penelitian, inovasi, dan memperkuat sistem keamanan pangan. UGM sendiri sedang mengembangkan alat deteksi cepat dan bioindikator untuk mencegah kontaminasi sejak dini.

Sementara itu, peneliti ahli muda Pusat Riset Teknologi Bahan Nuklir dan Limbah Radioaktif Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Gustri Nurliati menjelaskan, BRIN tengah mengembangkan metode fitoremediasi untuk mengatasi kontaminasi sesium-137 di lingkungan.

Metode ini, sebut Gustri, menggunakan tanaman untuk mengurangi, membersihkan, atau menghilangkan polutan berbahaya, seperti logam berat, pestisida, atau senyawa beracun, dari tanah maupun air.

“Fitoremediasi ramah lingkungan karena tidak membutuhkan bahan kimia berbahaya. Biayanya relatif rendah, berkelanjutan, mampu memperindah lingkungan, sekaligus mengurangi risiko pencemaran lebih lanjut,” kata Gustri, dikutip dari situs BRIN.

Para peneliti BRIN sudah melakukan riset fitoremediasi untuk menangani kontaminasi Cs-137. Penelitian dengan sesium non-radioaktif dilakukan menggunakan tanaman sorgum, akar wangi, bayam duri, dan sengon. Sedangkan untuk sesium radioaktif, uji coba dilakukan menggunakan jagung, bayam, kangkung, cabai, tomat, pare, sawi hijau, terong, dan daun singkong.

“Hasil studi menunjukkan, tanaman dengan kemampuan transfer faktor Cs-137 tertinggi adalah bayam. Sementara untuk unsur Cobalt, tanaman dengan transfer faktor tertinggi adalah pare,” ucap Gustri.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan