Memperbaiki sistem proporsional terbuka

Realitasnya kemudian adalah pilihan pada sistem daftar terbuka tak benar-benar nirmasalah.

Inistiatif untuk menerapkan sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka (open list proportional representation systems) gencar dimunculkan menjelang Pemilu 2009. Para pengusungnya saat itu, termasuk pihak pemerintah saat mengajukan RUU Pemilu pada 2007, menyatakan, sistem pemilu yang tidak menghargai dukungan suara konstituen mesti diperbaiki.

Salah satu argumentasinya, pilihan pada daftar calon terbuka diyakini akan membuat para calon terpacu berkompetisi secara sehat dan pada ujungnya kompetisi yang terbuka antarcalon akan meningkatkan partisipasi pemilih. 

Perdebatan panjang saat pembahasan RUU kemudian menghasilkan rumusan bahwa calon terpilih dari sebuah partai politik peraih kursi DPR ditentukan apabila calon meraih minimal 30% bilangan pembagi pemilih (BPP). Klausul itu kemudian dimohonkan pengujiannya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kemudian MK yang saat itu diketuai Mahfud MD melalui Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang dibacakan pada 23 Desember 2008 menyatakan, ketentuan dalam UU tersebut inkonstitusional dan karenanya penetapan calon terpilih harus didasarkan pada perolehan suara terbanyak calon dari partai yang meraih kursi di sebuah daerah pemilihan.

Jadilah, sejak Pemilu 2009 berlaku sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka. Artinya, pemilih bisa memilih langsung para calon anggota legislatif, bukan sekadar tanda gambar parpol peserta pemilu. Kala itu, kemenangan pengusung usul penerapan daftar terbuka disambut gempita seolah-olah sebagai kemenangan suara rakyat sebenar-benarnya.

Tak nihil masalah