Menanti regulasi perlindungan data

Semua regulasi masih parsial, dan hanya mengatur bidang masing-masing, belum memberikan sanksi sebagai sebuah pertanggungjawaban hukum.

Andy R Wijaya

Saat ini, RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) tengah di bahas di DPR bersama pemerintah. RUU tersebut di harapkan menjadi sebuah regulasi yang strategis untuk mengawal data-data pribadi warga negara yang saat ini berserakan di ‘gudang data’ beberapa pelaku usaha. Data-data tersebut tentunya sangat rawan di salahgunakan jika tidak ada sebuah aturan hukum yang protektif. Karena sudah banyak jatuh korban akibat dari penyalahgunaan data pribadi ini yang di lakukan oleh beberapa oknum untuk kepentingan pragmatis.

Beberapa negara sebenarnya sudah mulai melakukan pengaturan secara ketat di 2016. Indonesia sendiri juga mulai menggulirkan, namun baru di awal 2020 mulai di wujudkan melalui pembahasan RUU PDP di DPR. Meskipun relatif terlambat, namun langkah DPR bersama pemerintah perlu di apresiasi, dan langkah percepatan perlu di lakukan, mengingat semakin hari semakin bertambah juga aktivitas bisnis digital yang tentunya memerlukan data pribadi konsumen. 

Aktifitas digital yang meningkat atau setidaknya kegemaran orang belakangan ini yang berbelanja melalui platform digital, atau pengajuan loan di perusahaan fintech, terlebih saat pandemi ini membuat data-data tersebut semakin mudah dimiliki pelaku usaha. Data dari Indonesian E-Commerce Assosiation (idEA), orang yang berbelanja melalui platform digital online selama pandemi mengalami peningkatan sebesar 30%. Artinya ke depan akan terjadi peningkatan signifikan terhadap pengguna platform digital dan tentunya hal ini berkaitan juga dengan resiko penyalahgunaan data pribadi.

Regulasi yang parsial
Tentang data yang juga dekat dengan privacy ini, sebenarnya di beberapa Undang-Undang (UU) sudah termaktub. Bahkan dalam UUD 1945 pasal 28 G ayat 1 disebutkan bahwa; setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Di UU 39/1999 tentang HAM misalnya, dalam pasal 21 disebutkan bahwa; setiap orang berhak atas keutuhan pribadi baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh menjadi objek penelitian tanpa persetujuan darinya. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan menjadi objek penelitian adalah kegiatan menempatkan seseorang sebagai pihak yang dimintai komentar, pendapat atau keterangan yang menyangkut kehidupan pribadi dan data-data pribadinya serta direkam gambar dan suaranya. Jadi, sudah lebih dari dua dekade, persoalan hak untuk perlindungan data mulai bergulir di Indonesia, namun belum diikuti dengan ketentuan sanksi yang lebih operasional.