Pembantaian Atlanta: Menguak tabir kekerasan rasial selama ratusan tahun

Penguasaan ekonomi oleh sekelompok kecil pengusaha dan elite politik di AS, bisa membuat kesenjangan sosial semakin lebar

Didin Nasirudin

Pada 16 Maret 2021 waktu AS lalu, Robert Aaron Long, seorang pria kulit putih berusia 21 tahun, melakukan penembakan membabi buta di tiga panti pijat di kawasan metropolitan Atlanta sehingga menyebabkan delapan orang terbunuh, termasuk enam wanita warga keturunan Asia. 

Meski banyak yang menyangsikan motif rasial dibalik tindakan keji Long, pembantaian tersebut menjadi kulminasi dari serangkaian tindak perundungan dan kekerasan terhadap warga AS keturunan China, Vietnam, Korea, Jepang, Filipina dan India yang meningkat dalam dua tahun terakhir.

Menurut data Stop AAPI Hate, lembaga nirlaba yang mendokumentasikan tindak kebencian dan diskriminasi terhadap warga Amerika asal Asia dan Kepulauan Pasifik (AAPI) di AS, dalam rentang waktu 19 Maret 2020 hingga 28 Februari 2021, terjadi 3.795 insiden yang menimpa warga AS keturunan Asia dan Kepulauan Pasifik.

Perundungan atau harassment menjadi insiden yang paling sering terjadi (68,1%), disusul oleh tindak pengucilan atau shunning (20,5%) dan serangan fisik (11,1%). Insiden tersebut paling sering terjadi di tempat karja (35,4%), jalanan umum (25,3%) dan taman umum (9,8%).

Warga etnis China paling banyak yang menjadi korban yakni 42,2%, disusul warga Korea (14,8%), Vietnam (8,5%) dan Filipina (7,9%). Kaum perempuan 2,3 kali lebih sering menjadi korban dibandingkan pria dalam insiden-insiden tersebut.