Rabu pagi (9/7), seorang pria berusia 67 tahun dari Alvarado, Texas, memulai pendakian menuju Phantom Ranch, sebuah penginapan legendaris di dasar Grand Canyon, Arizona, AS. Rutenya—South Kaibab Trail—bukan sekadar jalur biasa. Jalur ini menawarkan pemandangan yang menakjubkan.
Namun, perjalanan yang seharusnya menjadi petualangan dua hari penuh kenangan itu berubah menjadi tragedi. Sekitar pukul 11.50 pagi, laporan masuk ke Dinas Taman Nasional: seorang pendaki ditemukan tak sadarkan diri di jalur yang sama di mana seorang pria Texas lain juga kehilangan nyawa tahun lalu. Para saksi mata yang berada di lokasi segera memberikan pertolongan pertama. Petugas medis dan relawan berjalan kaki menyusuri jalur untuk mencapai korban. Namun, semua upaya untuk menghidupkan kembali pria tersebut berakhir sia-sia. Ia dinyatakan meninggal dunia di tempat.
Menurut laporan resmi, pria itu sempat berbalik arah di Skeleton Point—titik balik umum bagi pendaki yang kelelahan. Ia sedang dalam perjalanan kembali ke permukaan ketika tubuhnya tak lagi sanggup melawan panas yang menyengat. Suhu pada hari itu, bahkan di tempat yang teduh, tercatat melampaui 49°C. Di Phoenix, rekor baru tercatat dengan suhu mencapai 48°C (118°F), dan Grand Canyon berada di bawah peringatan “panas ekstrem”.
Dinas Taman Nasional kembali mengingatkan pengunjung akan bahaya nyata yang sering diabaikan: jangan pernah mendaki antara pukul 10 pagi hingga 4 sore selama bulan-bulan musim panas. Jalur terbuka yang memantulkan panas dari batu merah, ditambah medan yang menanjak dan minim bayangan, menjadikan ngarai tersebut salah satu tempat paling mematikan bagi pendaki pada musim panas.
Tragisnya, ini bukan kasus pertama tahun ini. Pada bulan Mei, Dennis Smith, seorang pendaki berusia 74 tahun dari Olympia, Washington, juga meninggal dunia di jalur North Kaibab Trail. Ia dikenal sebagai pecinta alam yang berpengalaman. Namun, pengalaman pun tak cukup melawan kekuatan suhu ekstrem yang makin tak terduga.
Kematian di jalur panas
Apa yang terjadi di Grand Canyon bukanlah insiden terisolasi. Gelombang panas kini menjadi salah satu penyebab kematian tercepat yang meningkat secara global. Data dari University College London dan London School of Hygiene & Tropical Medicine memperkirakan bahwa pada tahun 2070, kematian akibat suhu panas di Inggris dan Wales saja bisa melonjak dari sekitar 634 jiwa per tahun menjadi lebih dari 30.000 jika tak ada mitigasi yang memadai.
Baru-baru ini, gelombang panas di Eropa pada akhir Juni dan awal Juli 2025 telah menyebabkan lebih dari 2.300 kematian berlebih di 12 kota besar. Sekitar dua pertiganya dikaitkan langsung dengan perubahan iklim akibat ulah manusia. Mayoritas korban adalah lansia berusia di atas 65 tahun, menunjukkan kelompok paling rentan dalam menghadapi ekstremitas iklim ini.
Secara global, proyeksi dari lembaga-lembaga internasional memperingatkan bahwa hingga 2,3 juta jiwa bisa kehilangan nyawa setiap tahun akibat suhu panas ekstrem di Eropa pada akhir abad ini. Sementara itu, di Amerika Serikat, Badan Cuaca Nasional mencatat peningkatan signifikan jumlah peringatan panas dalam dekade terakhir, terutama di wilayah barat daya seperti Arizona, Nevada, dan California—semua kawasan favorit para pendaki dan penjelajah alam.
Suhu panas: Si pembunuh sunyi
Berbeda dari badai atau banjir yang terlihat dan terdengar, panas ekstrem sering datang secara diam-diam. Ia tidak merobohkan pohon atau memecahkan jendela. Tapi ia menguras cairan tubuh, menekan kerja jantung, dan melemahkan kemampuan otak untuk mengambil keputusan. Bagi para pendaki yang hanya berbekal tekad dan semangat petualangan, kondisi seperti ini bisa menjadi jebakan mematikan.
Kisah pria Texas ini adalah potret nyata bagaimana petualangan bisa berujung tragedi. Bukan karena kelalaian, tapi karena kekuatan alam yang kini semakin sulit diprediksi akibat perubahan iklim global. Jalur South Kaibab yang dulu dikenal karena keindahannya kini juga diingat karena deretan nyawa yang tak sempat kembali.