Mengulang rivalitas Jokowi-Prabowo

Kini, keduanya memasuki babak baru, mengulang rivalitas untuk kedua kalinya. Pembedanya, fokus pada pemilu ini ada pada sosok cawapres.

Presentasi demokrasi elektoral mulai riuh rendah, drama kandidasi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang berakhir anti-klimaks. Berbagai spekulasi terkait siapa cawapres Jokowi maupun Prabowo, meleset. Didapuknya Maruf Amin mendampingi Jokowi, dan Sandiaga S Uno menyanding dengan Prabowo, cukup mencengangkan. Begitulah, morfologi politik merupakan seni ketidakpastian.

Berdasarkan catatan Murray Edelman (1995) yang berjudul From Art to Politic: How Artistic Creations Shape Political Conceptions, politik merupakan sebuah upaya untuk memastikan apa saja yang ada di permukaan kehidupan sosial dan moral masyarakat, sekaligus upaya untuk memastikan ketidakpastian. Sehingga, politik disebut sebagai jalan menuju kepastian bagi ketidakpastian, dan upaya ketidakpastian apa-apa yang seharusnya telah pasti. Demikianlah politik, selalu penuh liku spekulasi.

Sebagaimana dipilihnya Maruf Amin sebagai cawapres Jokowi, tentu bagi banyak kalangan ini sesuatu yang tidak terbaca sebelumnya. Betapa tidak, nama Mahfud MD yang semula berada pada list teratas, tiba-tiba hilang sepersekian menit menjelang deklarasi.

Demikian halnya Prabowo, yang berulangkali melakukan pertemuan ketat dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, spekulasi merebak akan ada duet Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-Prabowo Subianto. Dan, justru nama Sandiaga S Uno yang mengemuka menjadi cawapres.

Faktor cawapres
Diakui atau tidak, keputusan yang serba tak tertebak publik, merupakan hasil kongsi diplomasi politik antar elit parpol. Pilihan sulit bagi Jokowi maupun Prabowo memilih tokoh pendamping yang tidak beresiko terjadinya gesekan kepentingan antar parpol pendukung, maka muncul nama di atas sebagai bagian dari hasil konsolidasi kepentingan elit.