Nasib pejalan kaki di kota ini

Dambaan akan jalan-jalan kota yang beradab akan terus jadi impian di siang bolong, selama kendaraan bermotor pribadi terus diarusutamakan.

Arie Saptadjie/ Dokumen pribadi.

* Penulis, penerjemah, editor, dan tukang nonton, tinggal di Yogyakarta.

Sabtu pagi, saat meluncur naik motor ke kolam renang, di depan saya ada dua bapak bersepeda dengan santai sambil bercakap-cakap. Di punggung kaos salah satu bapak tertulis, “Let’s share the road.” Imbauan yang sederhana, lembut, tetapi menohok.

Sebelumnya saya menikung di sebuah pertigaan. Nah, pertigaan itu bisa menjadi contoh bagus bagaimana warga kota ini berbagi jalan. Menjelang tikungan, ada lampu lalu lintas dan penjelasan, pengendara yang hendak berbelok ke kiri diharuskan menunggu lampu menyala hijau.

Pada jam sibuk—pagi saat orang berangkat ke sekolah atau ke kantor, misalnya—pertigaan itu padat. Kendaraan yang melaju di jalan aspal umumnya mematuhi aturan tadi. Namun, tidak sedikit pengendara motor yang menderu di trotoar dan langsung berbelok ke kiri. Mereka melakukan dua pelanggaran sekaligus: merampas jalur bagi pejalan kaki dan menerabas lampu lalu lintas.

Trotoar itu memang cenderung sepi dari pejalan kaki. Pertanyaannya, trotoar itu sepi, maka pengendara motor nekat melintasinya? Atau, pejalan kaki enggan menggunakan trotoar karena was-was tertabrak pengendara motor nekat?