‘Perang’ gula Menteri Perdagangan vs Menteri BUMN

Dua menteri pembantu Presiden, yakni Menteri Perdagangan dan Menteri BUMN, terlibat “perang mulut” soal gula.

Khudori

Kelangkaan dan kenaikan harga gula tidak hanya mengganggu dapur keluarga dan industri kecil, masalah pemanis itu kini menjalar ke istana. Minggu demi minggu berlalu, bahkan berbilang bulan, kelangkaan dan kenaikan harga gula belum menemukan resep cespleng. Para menteri pembantu Presiden Joko Widodo berulangkali menggelar rapat koordinasi. Tentu untuk meracik resep jitu. Rupanya, hingga menjelang akhir April, racikan resep belum mampu menyelesaikan masalah. Kini, malah dua menteri pembantu presiden, yakni Menteri Perdagangan dan Menteri BUMN, terlibat “perang mulut”.

Lebih tepatnya “perang mulut” soal gula. Boleh juga disebut “perang” gula. Di saat Kementerian Perdagangan berjibaku meracik resep mengatasi pasokan yang tipis dan harga yang tidak terkendali seperti layang-layang putus, manajemen PT Perkebunan Nusantara II (Persero) menggelar lelang 5.000 ton gula. Lelang berlangsung terbuka. Harga terbawah dipatok Rp10.500/kg. Gula jatuh pada penawar tertinggi: Rp12.900/kg. Ini merupakan temuan Satgas Pangan yang diungkap Brigjen Pol Daniel Tahi Monang Silitonga, Kepala Satgas Pangan, saat konferensi pers bersama Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dan Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo di Jakarta, 28 April 2020.

Sontak, Kemendag seperti menemukan “tersangka” dan biang harga gula tinggi. Mendag Agus Suparmanto menjelaskan duduk masalahnya: harga lelang yang tinggi menyalahi harga eceran tertinggi (HET) gula sebesar Rp12.500/kg. Sebab, harga di distributor bisa Rp15.000/kg dan di pasaran Rp17.000/kg. Jadi tertuduh, Kementerian BUMN mengklarifikasi. Arya Sinulingga, juru bicara Menteri BUMN Erick Thohir, menilai tudingan itu mengada-ada. Gula 5.000 ton terlalu kecil untuk bisa memengaruhi harga. Kebutuhan konsumsi gula kita 3 juta/tahun. Gula juga belum ke luar dari gudang.

Pembelaan Kementerian BUMN ada benarnya. Makanya, jangan salahkan jika ada yang berpikiran nakal: “perang mulut” ini hanya trik pengalihan isu. Masalah sesungguhnya adalah kealpaan antisipasi pemerintah. Bayangkan, harga gula melambung sejak Februari lalu. Di supermarket juga sulit ditemukan. Gula ada di pasar tradisional, tetapi harganya tinggi. Harga gula naik sekitar 30,8%, dari Rp13.950/kg pada 2 Januari 2020 menjadi Rp 18.25/kg pada 2 Mei 2020. Harga ini jauh meninggalkan harga acuan yang diatur di Permendag No.7/2020: Rp12.500/kg. Mengapa harga gula terus naik?

Sejak diatur lewat harga acuan pada 2016, harga gula di konsumen relatif stabil, sesekali jatuh di bawah harga acuan. Harga gula di tingkat petani malahan konsisten rendah, selalu di bawah harga pokok produksi. Pasar jenuh karena kebijakan impor gula ugal-ugalan sejak 2016. Situasi berubah sejak tahun lalu. Impor gula konsumsi tahun 2019 hanya 116.080 ton, jauh dari rerata impor tiga tahun sebelumnya (2016-2018) yang sebesar 1.179.732 ton. Akibatnya, stok akhir gula 2019 (yang kemudian jadi stok awal 2020) rendah: 1.084.480 ton. Stok ini lebih rendah dari rerata 2017-2019: 1,690 juta ton. Data-data ini merujuk kalkulasi Nusantara Sugar Community (NSC), lembaga partikelir.