Perlukan revisi UU ITE bagi humas?

Seberapa penting revisi UU tersebut bagi unsur kehumasan?

Muhammad Sufyan Abdurrahman

 Wacana revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terus bergulir, manakala praktisi hubungan masyarakat (humas) terutama di pemerintahan sebenarnya terus alami dua situasi yang terjadi menahun. Karena sudah demikian eksisting, maka muncul pertanyaan: Seberapa penting revisi UU tersebut bagi unsur kehumasan?

Pertama, humas melalui berbagai saluran komunikasi, terutama di media sosial, pada beberapa tahun terakhir sudah “kenyang” mengalami berbagai kritik, saran, keluhan, pertanyaan, dan terutama komplain dengan cara jauh dari santun.

Warga internet (internet netizen), yang kemudian kerap disebut Netizen +62, sudah sering kita temukan tiada lagi keadaban sebagai Bangsa Timur saat menuliskan opininya secara online -hal yang takkan seberani itu jika dilakukan secara luring (offline).

Afirmasi kondisi tersebut kemudian ditunjukkan hasil survei tahunan Microsoft pada 25 Februari kepada 16.000 responden. Bertajuk Digital Civility Index, Netizen +62 menjadi warga paling tidak tidak beradab se-Asia Tenggara saat berinteraksi di dunia maya.

Didominasi oleh polah laku berita bohong dan penipuan (47%), ujaran kebencian (27%), dan diskriminasi (13%), kesantunan di dunia maya kita tertinggal jauh dari Singapura, Taiwan, dan Australia dan hanya lebih baik dari Meksiko, Rusia, dan Afrika Selatan.