Perlunya merombak kelembagaan parlemen untuk reforma agraria

Pembagian komisi di DPR dan rekan kerjanya merupakan peninggalan era Orde Baru.

Iwan Nurdin

Meskipun pelaksanaan reforma agraria disebut sebagai program prioritas, tetapi sebenarnya Presiden Jokowi tidak mendapatkan dukungan yang besar dari parlemen. Buktinya pada periode 2014-2019, DPR, DPD, dan MPR tampak tidak banyak menjadikan agenda ini sebagai ajang monitoring, baik itu mengkritik ataupun memberikan dukungan terhadap kinerja pemerintah. 

Bahkan, dalam legislasi, parlemen justru mengerjakan hal bertolak belakang, seperti membahas RUU Pertanahan, dan merevisi UU SDA. Ironisnya, para menteri juga tidak menjadikan reforma agraria sebagai prioritas kerja. 

Ada sejumlah penyebab yang membuat DPR lemah dalam mendeteksi perkembangan reforma agraria. Salah satunya disebabkan kelembagaan parlemen itu sendiri. Khususnya pembagian komisi di DPR. Di mana Kementerian ATR/BPN berada dalam radar monitor Komisi II. Kementerian LHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan berada di Komisi IV. Selanjutnya, Kementerian Desa PDTT berada pada Komisi V.

Tersebarnya pintu pengawasan DPR, ternyata bersanding dengan lemahnya komitmen pimpinan DPR kepada agenda ini, sehingga lembaga ini terlambat mengawasi melalui Rapat Lintas Komisi dan Lintas K/L. 

Pembagian komisi di DPR dan rekan kerjanya merupakan peninggalan era Orde Baru. Komisi II misalnya, menempatkan agraria hingga lembaga seperti KPU, karena pada masa lalu, lembaga ini berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Begitu juga Komisi IV yang awalnya bermitra dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan hingga Kehutanan. Ini karena awalnya merupakan Direktorat Jenderal pada Kementan, dan hingga kini terus melanjutkan tradisi bermitra dengan komisi ini.