Quo vadis RUU Penyadapan: Kasus Baiq Nuril?

Adanya pengaturan terhadap penyadapan sangat urgen untuk dilakukan.

dok. pribadi

Dunia hukum di Indonesia mulai meradang. Seperti mendapat ujian, penegakan hukum kembali dipertanyakan dengan munculnya kasus Baiq Nuril. Putusan pengadilan yang sarat dengan pertentangan antara keadilan substansial dengan hukum prosedural kembali terjadi di dunia peradilan kita.

Kasus perekaman tenaga honorer di SMA Mataram terhadap ancaman pelecehan oleh mantan kepala sekolahnya harus berakhir di dunia peradilan. Tidak hanya ramai di pengadilan, kasus ini juga merambat di dunia media hingga menjadi perbincangan hangat diberbagai kalangan. Tak heran jika lembaga negara seperti Ombudsman RI dan pengamat Amnesty Internasional ikut mengomentari putusan yang menolak upaya Kasasi Nuril pada Jumat lalu. 

Dalam mengeluarkan putusan, secara hukum, majelis hakim menolak PK Nuril dengan pertimbangan, rekaman percakapan antara Nuril dan Kepala Sekolah SMA 7 Mataram telah memenuhi syarat sebagai dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan, sebagaimana termuat dalam Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE.

Namun demikian, dari sisi kemanusiaan banyak yang merasa tidak adil dan tidak pantas secara etika seorang kepala sekolah melakukan pelecehan terhadap bawahannya. Lebih ironi lagi kasus ini dimenangkan pengadilan. Seakan tidak ingin jadi preseden buruk, Nuril mewakili perempuan Indonesia terus mencari keadilan itu hingga meminta amnesti kepada Presiden RI. Karena memang selain hakim memiliki pertimbangan hukum, Nuril juga memiliki keyakinan terhadap kebenaran dirinya bahwa sebenarnya perekaman tersebut sebagai upaya menjaga hak asasinya agar tidak dilanggar dan dilecehkan mantan atasannya.

Realitas ini memberi pemahaman kepada masyarakat luas bahwa kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan atau membenarkan secara membabi-buta terhadap putusan tersebut. Demikian halnya tidak bisa mencibir atau menyalahkan upaya Nuril mempertahankan upayanya, meskipun dalam azas hukum dikenal istilah res judicata pro veritate habetur yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar, namun bukan berarti putusan tersebut bebas nilai dan anti kritik.