Sakti Wahyu Trenggono dan ‘gas–rem’ kebijakan lobster

Sebagai “orang baru” di KKP, menarik mengikuti apa kebijakan “raja menara” itu dalam pro-kontra ekspor benih lobster.

Khudori

Presiden Jokowi menunjuk Sakti Wahyu Trenggono jadi Menteri Kelautan dan Perikanan, menggantikan Edhy Prabowo yang tersandung kasus benur. Sebagai “orang baru” di KKP, menarik mengikuti apa kebijakan “raja menara” itu dalam pro-kontra ekspor benih lobster. Akankah ia melanjutkan kebijakan Edhy yang melegalkan ekspor benur? Atau kembali mengadopsi kebijakan Susi Pudjiastuti, menteri sebelum Edhy, yang melarang ekspor benih lobster, termasuk penangkapan benur untuk budi daya. Sebelum sampai pada titik itu, ada baiknya menimbang ulang kebijakan Edhy dan Susi. 

Enam bulan berkuasa di KKP, 4 Mei 2020, Menteri Edhy mencabut Peraturan Menteri KP Nomor 56/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) dari Wilayah RI yang dibuat menteri sebelumnya, Susi Pudjiastuti. Alasannya, benih lobster melimpah. Mencapai lebih 10 miliar per tahun. Selain itu, selama Menteri Susi berkuasa, nelayan sengsara karena tak bisa menangkap benih dan membudidayakan lobster. Lewat beleid baru, Edhy tak hanya membolehkan budi daya, tetapi juga mengekspor benih lobster.

Jika dikaji lebih dalam, kebijakan Edhy dan Susi memang bertolak belakang. Bila dibuat spektrum, kebijakan Edhy ada di ekstrem kanan, sementara selama Susi berkuasa kebijakannya di ekstrem kiri. Konkretnya, kebijakan Edhy yang dituangkan di Permen KP No.12/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Spp.) di Wilayah RI adalah “budi daya YES” dan “ekspor benih lobster YES”. Sebaliknya, Susi adalah “budi daya lobster NO” dan “ekspor benih lobster NO”. Boleh dikata Edhy menginjak “gas pol”, sedangkan Susi menempuh “rem pol”. 

Lazimnya sesuatu yang ekstrem atau berlebihan itu tidak baik. Demikian pula kebijakan Edhy dan Susi. Selama Susi berkuasa, nilai ekspor lobster ukuran konsumsi tumbuh rerata 20,42%/tahun (BPS, 2019). Ekspor lobster konsumsi meningkat dari US$11.808.195 (2014) jadi US$28.452.601 (2018). Di sisi lain, larangan menangkap benur lobster untuk budi daya membuat sektor budi daya lobster lumpuh dan merosot. Produksi lobster hasil budi daya Indonesia pernah menjadi jawara dunia. Pada 2013, kontribusi produksi lobster hasil budidaya Indonesia mencapai 54,3% terhadap produksi dunia. Pada tahun yang sama, kontribusi Vietnam baru 41,9%. Pasca-Permen-KP 56/2016, kontribusi produksi lobster dari budi daya Indonesia terhadap dunia tinggal 9,6% pada 2016. Sebaliknya, pangsa Vietnam melesat hingga 85,3%. Ini bertahan hingga sekarang.

Kebijakan Edhy yang membuka ekspor benih lobster tentu salah kaprah. Selama ini tujuan utama ekspor benih lobster adalah Vietnam. Sementara Vietnam adalah kompetitor utama Indonesia dalam perlobsteran. Kedigdayaan Vietnam dalam ekspor lobster amat tergantung benih lobster dari Indonesia. Karena itu, meskipun dilarang ekspor di era Susi, penyelundupan tetap terjadi, yang 2019 mencapai Rp900 miliar. Ibarat laga sepak bola antara Indonesia vs Vietnam, kebijakan ekspor benih lobster tidak ubahnya pemain Indonesia mengumpan bola di mulut gawang Indonesia ke pemain Vietnam.  Kebijakan ini, sudah tentu, memberi modal kemenangan telak bagi Vietnam.