Strategi komunikasi keliru pada kasus pembakaran bendera

Jika tidak dimanajemen dengan tepat, kasus pembakaran bendera ini berpotensi menjelma sebagai gerakan besar dan berjilid-jilid

Barisan Ansor Serbaguna (Banser) menjadi sorotan utama media dan masyarakat beberapa hari terakhir ini. Bukan karena aksi heroik seperti yang pernah dilakukan oleh Riyanto, salah satu anggota dari badan otonom Nahdlatul Ulama (NU) ini pada malam pada 2000 silam, yang rela mengorbankan nyawa demi melindungi jemaat Gereja Eben Haezar Mojokerto dari serangan bom. Kali ini, niat beraksi bak nasionalis sejati oleh beberapa oknum Banser di Garut malah mendapat kecaman dari banyak pihak.

Kejadian ini bermula saat perayaan Hari Santri Nasional di Lapang Alun-alun Kecamatan Limbangan, Garut, Senin, 22 Oktober 2018. Beberapa oknum anggota Banser membakar bendera yang diklaim sebagai bendera milik salah satu organisasi terlarang di Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Aksi tersebut direkam dan tersebar luas melalui sosial media dan menimbulkan berbagai macam reaksi masyarakat.

Melihat gejolak di masyarakat, pemerintah bergerak cepat dengan menggelar rapat kooordinasi bersama Kapolri, Jaksa Agung, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan PBNU. Tidak butuh waktu lama, polisi langsung mengamankan oknum-oknum yang diduga terlibat di dalam video viral tersebut.

Strategi komunikasi gegabah

Konflik sudah terlanjur membara di tengah masyarakat. Pemerintah dan aparat keamanan tidak ada pilihan lain, kecuali harus memanajemen konflik tersebut agar tidak menjadi lebih buruk lagi dan sebaliknya dapat mereda.