Tantangan Pilkada Serentak 2020 dan tata kelola pemilu di masa krisis

Penyelenggara membutuhkan kepastian untuk perencanaan tahapan, dukungan anggaran, dan teknis penyelenggaraan.

Dody Wijaya

Rapat kerja atau rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI dengan Mendagri, KPU RI, Bawaslu RI dan DKPP pada Selasa, 14 April 2020 menghasilkan dua keputusan yaitu (1) menyetujui usulan pemerintah menunda pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 menjadi 9 Desember 2020 memberi tantangan tersendiri bagi penyelenggara pemilu. (2) merujuk putusan MK serta evaluasi keserentakan Pemilu 2019 Komisi II DPR RI mengusulkan kepada pemerintah agar pelaksanaan pilkada dikembalikan sesuai masa jabatan 1 periode 5 tahun yakni tahun 2020, 2022, 2023 dan 2025. 

Tantangan Pilkada Serentak 2020 

Keputusan Komisi II DPR RI untuk menunda pilkada serentak sesuai opsi A pada 9 Desember 2020 berdasar pada status tanggap darurat Covid-19 yang diputuskan BNPB sampai 29 Mei 2020. Meskipun tidak ada pihak yang bisa memastikan kapan selesainya pandemi Covid-19 yang telah ditetapkan sebagai bencana nasional nonalam.

Pilihan penundaan pilkada lainnya dengan opsi B pada 17 Maret 2021 atau ditunda enam bulan dan opsi C pada 29 September 2021 atau ditunda satu tahun juga problematik.  Pasalnya pemerintah harus mengangkat banyak penjabat kepala daerah untuk 270 daerah yang tentu menjadi kesulitan tersendiri bagi pemerintah yang konsentrasi semua sumber daya dialokasikan untuk menangani pandemi Covid-19. Kepala daerah juga tidak bisa memastikan ketersediaan dana pilkada dengan kondisi ekonomi sangat sulit tahun depan karena masih recovery ekonomi.  

Pilihan opsi A dengan menunda pilkada serentak selama tiga bulan yang berarti pilkada akan dilanjutkan kembali pada Juni 2020 juga bukan tanpa konsekuensi.