Bencana di media, media di bencana

Perhatian publik dan keingintahuan tentang peristiwa itu umumnya sangat tinggi.

Ilustrasi bencana. Foto istimewa

Bencana dalam bentuk apapun mulai dari perang, penyakit menular seperti Covid-19, kelaparan, krisis iklim, dan lainnya selalu memiliki dimensi yang penting bagi media. Karena nilai beritanya sangat tinggi. Biasanya diukur seberapa skalanya. Semakin besar dampaknya, makin banyak korban, itu dianggap semakin tinggi nilai beritanya.

Perhatian publik dan keingintahuan tentang peristiwa itu umumnya sangat tinggi. Satu hal, terutama bencana yang berdampak pada orang, semakin besar dampaknya dan semakin dekat dengan kita, misalnya terjadi di kampung kita atau di provinsi di negara kita, maka ketertarikan publik terhadap itu semakin tinggi. Itu yang membuat media berbondong-bondong memberitakan mengenai bencana.

Ahmad Arif, Ketua Umum Jurnalis Bencana, memaparkan pandangan tersebut dalam diskusi online DMC Dompet Dhuafa, Jumat (18/2/2022). Berbagi ilmu tentang dunia jurnalistik kebencanaan, Arif mengungkai 'Dimensi Manusia dalam Bencana dan Peran Jurnalisme' sebagai pokok bahasan. Diuraikannya, yang menjadi problem di Indonesia sebenarnya sudah cukup banyak kritik bagaimana praktik pemberitaan bencana di media massa yang diangkat sering kali tidak etis.

"Beberapa tahun lalu, misalnya, pemberitaan di salah satu televisi saat kecelakaan pesawat Air Asia memotret proses evakuasi korban dari laut. Tayangan itu dianggap terlalu sadis. Jadi dramatisasi yang dianggap berlebihan, sehingga dikhawatirkan berdampak psikologi yang buruk pada keluarga korban dan anak-anak. Kalau diingat, tayangan televisi itu bisa dilihat oleh siapa saja sehingga seorang pekerja media perlu memperhitungkannya," katanya.

Menurut Arif, banyak kejadian serupa, contohnya letusan Gunung Merapi pada 2010. Sampai-sampai masyarakat di lokasi bencana sempat melarang televisi masuk kampung mereka karena dianggap justru akan memicu kekacauan. Di luar itu banyak sekali kritik yang dialamatkan kepada media. Secara umum, yang disoroti salah satunya seolah-olah 'bad news is good news'. Bila makin dramatis tambah banyak korban, semakin menarik untuk dieksploitasi. Terkadang gambar mayat, orang yang menangis, kemudian diperbesar tanpa memperhitungkan bagaimana dampak pada pemirsa. Ini sering kali jadi kritik terhadap pemberitaan media di Indonesia.