close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi podcast. /Unsplash
icon caption
Ilustrasi podcast. /Unsplash
Peristiwa
Kamis, 09 Oktober 2025 15:00

Kenapa publik meninggalkan media dan beralih ke podcast?

Kepercayaan publik terhadap media sosial merosot tajam karena misinformasi dan dampak negatifnya, sementara podcast justru makin dipercaya meski tak sepenuhnya bebas dari manipulasi informasi.
swipe

Kepercayaan warga Amerika Serikat (AS) terhadap media massa kembali merosot ke rekor terendah. Menurut survei terbaru Gallup, hanya 28% orang dewasa di AS yang kini mengatakan mereka memiliki “banyak” atau “cukup banyak” kepercayaan terhadap surat kabar, televisi, dan radio dalam menyampaikan berita secara utuh, akurat, dan adil.

Angka tersebut turun jika dibanding tahun lalu, yakni 31%. Ketika Gallup mulai mengukur tingkat kepercayaan publik terhadap media pada tahun 1970-an, angkanya di kisaran 68% hingga 72%. Sejak 1997, kepercayaan publik turun hingga hanya 53%.

"Tujuh dari sepuluh warga AS kini menyatakan mereka memiliki “tidak terlalu banyak” (36%) atau “tidak sama sekali” (34%) kepercayaan pada media—menandai jurang skeptisisme publik yang semakin dalam terhadap institusi pers," tulis Gallup dalam keterangan resmi di situs resminya. 

Selama awal 2000-an, kepercayaan terhadap media bertahan sedikit di atas 50%, sebelum merosot ke 44% pada 2004—dan sejak itu tak pernah kembali ke mayoritas. Puncak tertingginya dalam satu dekade terakhir terjadi pada 2018 (45%), dua tahun setelah anjloknya kepercayaan publik selama kampanye pilpres AS 2016 yang sarat polarisasi.

Survei dilakoni pada 2–16 September 2025. Menurut Gallup, konstituen dari Partai Demokrat dan Republik sama-sama menunjukkan tingkat kepercayaan yang sama-sama rendah. Di kalangan Republikan, hanya 8% yang mengatakan mereka masih mempercayai media. Kepercayaan mereka tak pernah melewati 21% sejak 2015.

Independen, kelompok tanpa afiliasi partai, juga mencatat rekor rendah: 27%, sama seperti tahun lalu. Adapun kaum Demokrat, yang selama ini menjadi kelompok paling positif terhadap media, kini hanya menyisakan 51% yang masih percaya—mengulang titik rendah yang sama dengan tahun 2016.

Selain perbedaan politik, kepercayaan terhadap media kini juga dipisahkan oleh jurang generasi. Dalam analisis data tiga tahun terakhir (2023–2025), 43% warga berusia 65 tahun ke atas masih menaruh kepercayaan pada media, jauh lebih tinggi dibanding generasi muda yang tak pernah melewati angka 28%.

Pada awal 2000-an, semua kelompok usia di AS menunjukkan tingkat kepercayaan yang relatif serupa—sedikit di atas 50%. Namun, dalam dua dekade terakhir, kepercayaan publik anjlok di semua usia, kecuali pada kelompok lansia yang penurunannya lebih lambat.

"Kepercayaan publik terhadap media massa kini berada di titik paling rendah dalam sejarah modern Amerika. Kurang dari tiga dari sepuluh warga menilai media masih bisa dipercaya untuk menyampaikan berita secara utuh dan adil," jelas Gallup. 

Hal serupa juga terekam di Australia, tetapi untuk media sosial. Tingkat kepercayaan publik terhadap media sosial terus merosot tajam. Laporan 2025 Ethics Index yang dirilis Governance Institute of Australia menunjukkan satu dari empat warga Australia kini menilai media sosial sebagai sesuatu yang “sangat tidak etis”.

Hasil itu sejalan dengan temuan Digital News Report 2025 yang mengungkap kekhawatiran luas atas penyebaran misinformasi dan rendahnya kepercayaan terhadap berita yang beredar di media sosial. Sentimen serupa juga muncul di banyak negara lain.

Edelman Trust Barometer 2025, yang disusun dari survei global terhadap lebih dari 30 ribu responden di 28 negara, mencatat penurunan tajam dalam kepercayaan terhadap perusahaan media sosial. Lalu, dari mana asal pesimisme publik ini? 

"Berbagai studi menunjukkan, di sejumlah platform, informasi palsu dan sensasional justru lebih cepat menyebar ketimbang kebenaran. Fenomena ini bukan hanya memicu polarisasi politik, tapi juga memperkuat budaya negatif di ruang publik," ujar dosen sekolah bisnis di The University of Western Australia, Jason Weismueller, dalam sebuah analisis di The Conversation, Kamis (9/10). 

Selain sumber misinformasi, penggunaan media sosial yang berlebihan juga dikaitkan dengan meningkatnya masalah kesehatan mental—terutama di kalangan remaja dan dewasa muda. Beberapa studi menemukan korelasi antara intensitas penggunaan media sosial dengan tingkat depresi, kecemasan, dan stres psikologis yang lebih tinggi.

Ilustrasi bahasa gaul di media sosial. /Foto Pixabay

Digeser podcast? 

Berbeda dengan media sosial, menurut Weismueller, podcast kini menikmati reputasi yang jauh lebih positif. Di Australia, konsumsi podcast meningkat pesat: lebih dari separuh warga berusia di atas sepuluh tahun mendengarkan audio atau video podcast setiap bulan.

Kepopulerannya bahkan menembus panggung politik. Dalam pemilu Australia 2025, para kandidat dan pemimpin partai memanfaatkan podcast sebagai medium kampanye, menandakan pergeseran besar dalam cara politisi berkomunikasi dengan publik.

Apa yang membuat podcast terasa lebih “beradab” dan dipercaya? Salah satu alasannya, menurut Weismueller, terletak pada cara konsumsi. Pendengar memilih secara sadar episode dan pembawa acara yang mereka sukai—bukan menelusuri linimasa tanpa arah seperti di media sosial. 

"Hubungan yang terbentuk antara pendengar dan host pun bersifat personal. Ada rasa keintiman, kedekatan, dan otentisitas yang membuat banyak orang menilai pembawa acara sebagai figur yang kredibel," ujar Weismueller. 

Namun, rasa percaya ini bisa menipu. Sebuah studi dari Brookings Institution terhadap lebih dari 36 ribu episode podcast politik menemukan hampir 70% di antaranya mengandung klaim yang salah atau belum diverifikasi. Penelitian lain menunjukkan bahwa sebagian besar podcast politik juga kerap menggunakan bahasa yang kasar dan penuh permusuhan.

"Pelajaran terbesarnya: jangan menaruh kepercayaan buta pada satu platform. Baik media sosial maupun podcast, keduanya punya sisi terang dan gelap. Yang dibutuhkan publik kini bukan hanya media yang etis, tapi juga literasi digital yang kuat—kemampuan untuk menimbang, bukan sekadar menerima," jelas Weismuller. 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan