Di balik 'jurnalisme' cengengesan

Menurut Budhiana, sekarang jutaan orang jadi reporter. Tapi tidak semua melakukan praktik jurnalistik.

ilustrasi. Istimewa

Sekarang publik diuntungkan beragam platform media, banyak sekali pelaku dalam tanda kutip yang melaksanakan tugas jurnalistik. Muncul kemudian istilah netizen dan sebagainya. Platform pun bermacam-macam seperti media sosial, podcast, dan lainnya.

"Kehadiran platform-platform baru dengan makin luasnya jaringan, internet semakin kuat, menyebabkan setiap orang bisa menjadi pembuat konten. Kalau dulu, kreator konten hanya wartawan dan mendirikan media itu dulu mahal," kata mantan pemimpin redaksi Pikiran Rakyat Budhiana Kartawijaya.

Ditambahkannya, di era internet setiap orang adalah media. Tiap orang punya gawai. Setiap orang adalah reporter, bisa melaporkan apapun yang dia lihat dan saksikan.

"Tapi kalau dikatakan apakah setiap orang menjadi jurnalis, itu harus hati-hati! Karena pengertian jurnalistik itu ada yang menurut undang-undang dan terutama terhadap nilai-nilai jurnalistik yang ada disiplin-disiplin verifikasi, kesetiaan kepada kebenaran, dan jurnalis itu mengontrol pemerintah. Itu (selengkapnya) ada 10 elemen jurnalistik Bill Kovach bisa kita baca," tuturnya.  

Menurut Budhiana, sekarang jutaan orang jadi reporter. Tapi tidak semua melakukan praktik jurnalistik. Terutama disiplin verifikasi. Ini yang menyebabkan informasi menjadi chaos, banyak hoaks, jadi kebenaran itu tidak verifikatif, sehingga lahir istilah post-truth. Kebenarannya jadi kebenaran hoaks.