sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Di Thailand, media baru menyeimbangkan jurnalisme dengan aktivisme

Saat mereka mencapai Bangkok pada April, sebuah kelompok baru telah terbentuk.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Selasa, 11 Okt 2022 20:12 WIB
Di Thailand, media baru menyeimbangkan jurnalisme dengan aktivisme

Bagi Chalini Thongyot, menyaksikan penangkapan massal para pengunjuk rasa di Thailand selama demonstrasi anti-pemerintah menjadi titik balik.

Saat itu, Thongyot sedang membantu kelompok aktivis Umne of Anarchy mengelola platform media sosial dan protes streaming langsung yang terjadi di seluruh Thailand.

Protes, yang dimulai pada 2020, secara teratur berakhir dengan bentrokan. Polisi menggunakan peluru karet, semprotan merica dan meriam air, dan menangkap ratusan pengunjuk rasa.(voa)

Melihat tanggapan polisi terhadap mereka yang memprotes kebijakan pemerintah atau menuntut reformasi monarki meneguhkan keputusan Thongyot untuk menjadi jurnalis.

“Saat itu, saya hanya berpikir tugas ini paling cocok untuk saya karena sayalah yang memproduksi media sosial, siaran langsung,” kata Thongyot kepada VOA di Bangkok.

Gadis 23 tahun itu sekarang menjadi bagian dari Thalufah, sebuah organisasi yang tumbuh dari gerakan protes dan merentang jurnalisme dan aktivisme.

Pada Januari 2021, Thongyot bergabung dalam pawai untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah lingkungan. Pawai tersebut menempuh perjalanan dari kota Khon Kaen ke ibu kota Bangkok — sekitar 440 kilometer.

Saat mereka mencapai Bangkok pada April, sebuah kelompok baru telah terbentuk.

“Itu adalah kampanye yang cukup besar. Orang-orang yang tergabung dalam kelompok aktivis selama ini, baru mendapatkan nama Thalufah karena peristiwa itu,” kata Thongyot.

Thalufah, yang sebagian diterjemahkan menjadi “terobosan ke langit,” sekarang memiliki sekitar 50 staf dan empat departemen, termasuk delapan produser konten dan tiga reporter — termasuk Thongyot.

Misi kelompok tersebut adalah untuk melihat Prayut Chan-Ocha diberhentikan sebagai perdana menteri, konstitusi Thailand akan ditulis ulang, dan monarki direformasi.

Secara daring, kehadiran Thalufah telah berkembang menjadi lebih dari 345.000 pengikut gabungan di Facebook, Instagram, dan Twitter.

Di negara di mana media sebagian besar mengikuti garis resmi, Thalufah mewakili perubahan dalam media baru, dengan kelompok jurnalisme aktivis menemukan platform baru untuk memungkinkan oposisi menyuarakan ruang.

Namun peliputan di Thailand bukan tanpa risiko.

Polisi Thailand telah menangkap wartawan dan jurnalis warga dan pada Juli, polisi merilis daftar pantauan jurnalis yang meliput protes pro-demokrasi. Nama-nama, foto-foto, dan data pribadi beberapa wartawan dan jurnalis warga dilampirkan.

Dalam penilaiannya terhadap lingkungan media Thailand, pengawas Reporters Without Borders (RSF) mengatakan wartawan yang mencoba menawarkan suara alternatif berisiko mengalami penganiayaan.

Secara keseluruhan, RSF memberi peringkat Thailand 115 dari 180 pada Indeks Kebebasan Pers-nya, di mana 1 menandai negara dengan kondisi media terbaik.

Selama pandemi, pihak berwenang Thailand memberlakukan keputusan darurat termasuk jam malam dan perintah yang melarang penerbitan atau penyiaran berita dan informasi yang dapat memicu “ketakutan publik.”

Keputusan itu juga mengusulkan peraturan yang akan memungkinkan kekuasaan luas pemerintah untuk memblokir konten yang dianggap berbahaya bagi ketertiban umum. Tapi pengadilan kemudian memblokir rencana tersebut.

Pengakuan

Wasinee Pabuprarap dari Asosiasi Jurnalis Thailand mengatakan jurnalis warga menghadapi banyak masalah.

“Pihak berwenang juga tidak mengakui mereka sebagai pers, yang mengakibatkan pelecehan hukum. Beberapa dari mereka ditangkap, dituduh sebagai pengunjuk rasa. Beberapa dikenai hukum lese-majeste,” katanya kepada VOA, merujuk pada undang-undang ketat Thailand yang melarang menghina keluarga kerajaan.

“Secara ekonomi, mereka menghadapi krisis keuangan, terutama setelah popularitas gerakan protes menurun. Beberapa dari mereka mengandalkan sumbangan dan sekarang mencari cara lain untuk mendanai sendiri,” katanya kepada VOA.

Dalam kasus Thalufah, kelompok tersebut didanai oleh organisasi internasional dan sumbangan publik.

Phansasiri Kularb, dosen jurnalisme di Universitas Chulalongkorn di Bangkok, melihat jurnalisme warga sebagai hal yang penting untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang berkuasa.

“Kehadiran jurnalis warga dalam protes politik sangat penting, terutama dalam kasus di mana bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa terjadi,” katanya kepada VOA melalui email.

Tapi, tambah dosen itu, bukan hanya persoalan dengan pihak yang berwenang. Rekan-rekan di media arus utama tidak selalu mengenali jurnalis warga.

“Ketika protes anti-pemerintah tumbuh lebih besar dan lebih sering pada akhir 2020, asosiasi profesional jurnalis tidak memasukkan jurnalis warga sebagai anggota organisasi mereka dan tidak memberi mereka lencana pers untuk meliput protes,” kata Kularb.

“Dengan demikian, media alternatif dan reporter warga bekerja sama untuk membentuk asosiasi mereka sendiri dan membuat lencana mereka sendiri guna mengidentifikasi diri mereka sebagai pers di lapangan,” katanya.

Salah satu kelompok tersebut adalah Thai Media for Democracy Alliance. Kelompok ini bertindak sebagai asosiasi untuk media independen dan memberikan mereka ban lengan media yang digunakan sebagai bentuk identifikasi pers di Thailand.

Thongyot mengatakan pihak berwenang masih tidak mengakui Thalufah sebagai media, yang membuatnya cemas.

Pada Agustus 2021, pihak berwenang menangkap 31 tim Thalufah, termasuk Thongyot, karena dugaan pemerasan terhadap seorang pejabat dan melanggar keputusan darurat menyusul protes di Bangkok.

Mereka ditahan semalaman sebelum pengadilan memberikan jaminan pada hari berikutnya, menurut Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand. Thongyot mengatakan kasus terhadapnya akhirnya dibatalkan.

Bulan berikutnya, polisi memepet Thongyot lagi selama demonstrasi di depan Gedung Pemerintah di Bangkok, tetapi mereka ditarik mundur sebelum tindakan apa pun diambil, katanya.

Thongyot mengakui bahwa Thalufah masih lebih condong ke arah aktivisme daripada jurnalisme, yang mungkin menjadi alasan pihak berwenang melecehkan mereka.

Pembagiannya “sekitar 60-40%,” katanya. “Media porsinya kecil karena staf di Thalufah lebih banyak aktivis daripada jurnalis.”

Grup saat ini mempublikasikan di media sosial. Tapi Thalufah sedang mengembangkan situs web dan berencana untuk mendaftar menjadi bagian dari Asosiasi Jurnalis Thailand.

Bagi Thongyot, peralihan ke jurnalisme masih relatif baru, tetapi dia berkomitmen untuk itu.

“Saya berharap menjadi jurnalis sejati,” katanya. “Bukan hanya saya, tapi tim saya.”

Berita Lainnya
×
tekid