Kemerdekaan pers Indonesia meningkat di indeks, memprihatinkan di lapangan

Terjadi peningkatan indeks kebebasan pers versi RSF. Tapi RSF masih memberikan bendera merah kepada Indonesia.

Ilustrasi ancaman kebabasan pers. Foto istimewa

Menghindari jerat hukum pidana dan perdata bagi jurnalis ada dua upaya. Demikian kesimpulan Abdul Latif Apriaman dari Dewan Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Mataram.

"Pertama, sebagai seorang jurnalis, tidak ada kata lain untuk membuat tameng terkuat agar terhindar dari jerat hukum pidana dan perdata adalah dengan menegakkan kode etik dan kode perilaku," katanya berbicara dalam workshop Etik dan Profesionalisme Jurnalis dengan tema 'Profesionalisme Jurnalis Di Tengah Kemajuan Teknologi'. Pelatihan kerja sama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dengan Kedutaan Besar Australia digelarkan pada Jumat (25/2).

Kedua, diteruskannya, selaku bagian dari organisasi AJI yang memperjuangkan hak-hak sipil kebebasan pers, "Maka kita harus turut serta mengambil bagian (yang menegaskan) bahwa ada yang salah dari hukum yang berlaku di negeri kita. Paling terlihat jelas, yang sudah banyak makan korban, adalah Undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik)," ujarnya.

Mengutip Reporters Without Borders (RSF), Latif menjelaskan situasi Indonesia hari ini berada di urutan 113 dari 180 negara. Rangking yang terhitung lumayan tinggi, artinya naik beberapa tingkat dari tahun-tahun sebelumnya. Pada 2020, di angka 119 dari 180 negara. Di tahun 2019, urutan 124 dari 180 negara.

Terjadi peningkatan indeks kebebasan pers versi RSF. Tapi RSF masih memberikan bendera merah kepada Indonesia. "Karena ternyata jika ditelisik lebih mendalam, di negeri kita ini ancaman buat pers itu masih sangat besar, termasuk di masa pandemi Covid-19. Salah satunya adalah kita tidak boleh mengutak-atik atau kritis terhadap presiden," cetusnya.