Konsolidasi pers Indonesia dalam migrasi digital media televisi

Survei ini juga menunjukkan masyarakat lebih percaya televisi dan media sosial ketimbang situs resmi pemerintah.

Ilustrasi. foto Unsplash

Konvergensi media menjadi digital itu, menurut cendekiawan Prof. Azyumardi Azra, hampir tidak ada sensornya seperti sensor atas seks atau kekerasan. Berbeda dengan TV konvensional yang sudah disensor, misalnya Netflix sepengetahuannya tidak ada yang disensor.

"Ini menurut saya memerlukan konsolidasi dari dunia pers kita, dari kalangan wartawan sendiri. Saya kira, kecakapan profesional (wartawan) harus ditingkatkan. Karena pada saat yang sama, pers Indonesia itu juga mengalami eksplosi dengan media sosial. Medsos menampilkan netizen journalism yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan media mainstream. Menurut saya, itu tidak bisa dibendung atau disensor," kata Azyumardi di KemenkominfoTV.    

Di tengah suasana migrasi TV digital dari sebelum bersiaran secara analog, media diharapkan segera bisa melakukan transformasi karena konvergensi media ada di depan mata dan suasananya jauh berbeda. Apa yang akan dilakukan pers menarik untuk diperhatikan.

"Saya tidak pernah mencemaskan bahwa akan terjadi friksi dalam proses migrasi dari analog ke digital. Itu akan sama halnya tiba-tiba kita diberi tahu soal harga bensin naik. Itu tidak ada reaksi. Bahkan lebih baik ketika ibu-ibu mengganti bahan bakar kompornya dari minyak tanah ke gas LPG," ujar Ilham Bintang, tokoh senior pers Indonesia.

Sejak beberapa tahun terakhir, Ilham mencatat 200 juta orang yang terhubung dengan internet. Itu artinya sudah familiar dengan digital, karena dengan ponsel sudah bisa mengakses apapun saja di dunia ini, bukan hanya TV nasional, bahkan TV global, tontonan di Netflix, dan lainnya. Itu 200 juta orang, berarti jumlahnya lebih tinggi dari pemilih waktu pemilu 2019.