sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Konsolidasi pers Indonesia dalam migrasi digital media televisi

Survei ini juga menunjukkan masyarakat lebih percaya televisi dan media sosial ketimbang situs resmi pemerintah.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Jumat, 18 Feb 2022 16:17 WIB
Konsolidasi pers Indonesia dalam migrasi digital media televisi

Konvergensi media menjadi digital itu, menurut cendekiawan Prof. Azyumardi Azra, hampir tidak ada sensornya seperti sensor atas seks atau kekerasan. Berbeda dengan TV konvensional yang sudah disensor, misalnya Netflix sepengetahuannya tidak ada yang disensor.

"Ini menurut saya memerlukan konsolidasi dari dunia pers kita, dari kalangan wartawan sendiri. Saya kira, kecakapan profesional (wartawan) harus ditingkatkan. Karena pada saat yang sama, pers Indonesia itu juga mengalami eksplosi dengan media sosial. Medsos menampilkan netizen journalism yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan media mainstream. Menurut saya, itu tidak bisa dibendung atau disensor," kata Azyumardi di KemenkominfoTV.    

Di tengah suasana migrasi TV digital dari sebelum bersiaran secara analog, media diharapkan segera bisa melakukan transformasi karena konvergensi media ada di depan mata dan suasananya jauh berbeda. Apa yang akan dilakukan pers menarik untuk diperhatikan.

"Saya tidak pernah mencemaskan bahwa akan terjadi friksi dalam proses migrasi dari analog ke digital. Itu akan sama halnya tiba-tiba kita diberi tahu soal harga bensin naik. Itu tidak ada reaksi. Bahkan lebih baik ketika ibu-ibu mengganti bahan bakar kompornya dari minyak tanah ke gas LPG," ujar Ilham Bintang, tokoh senior pers Indonesia.

Sejak beberapa tahun terakhir, Ilham mencatat 200 juta orang yang terhubung dengan internet. Itu artinya sudah familiar dengan digital, karena dengan ponsel sudah bisa mengakses apapun saja di dunia ini, bukan hanya TV nasional, bahkan TV global, tontonan di Netflix, dan lainnya. Itu 200 juta orang, berarti jumlahnya lebih tinggi dari pemilih waktu pemilu 2019.

"Jauh di atas jumlah riil penonton televisi kita, bila seluruhnya digabung antara TV lokal, nasional, ditambah pembaca media cetak, pendengar radio, media online, dan lainnya. Itu masih lebih tinggi jumlah orang yang terhubung ke internet. Artinya tidak akan sulit Kominfo untuk melaksanakan migrasi televisi," bubuhnya.

Menurut Ilham, berdasarkan survei Kementerian Komunikasi dan Informatika dan KataData Insight Center ditemukan bahwa mayoritas masyarakat mengakses informasi di media sosial. Survei ini juga menunjukkan masyarakat lebih percaya televisi dan media sosial ketimbang situs resmi pemerintah.

"Sepuluh tahun lalu, ketika migrasi analog ke digital diwacanakan kita ketakutan bahwa kita dianalogikan dari masyarakat layar tancap naik ke kelas bioskop. Ke mana larinya penonton televisi dan surat kabar? Itu (mereka) ke media sosial," urainya.

Sponsored

Dikatakan, problem besar dihadapi masyarakat pers sekarang. Ada beberapa peristiwa besar, termasuk insiden di Desa Wadas, itu (ternyata) pertama ditemukan di media sosial. Ini, katanya, berbahaya karena akan membuat masyarakat makin tidak percaya pada media mainstream.

"Saya terus-menerus melakukan inovasi bersama teman-teman. Ada dua kuncinya, pertama, Anda bicara jujur dan jangan sampai menyunting atau mengedit sehingga berbeda dengan substansi. Kedua, Anda harus tunjukkan bahwa wartawan itu tidak bekerja ongkang-ongkang kaki di kantornya. Di dalam karyanya, pembaca maupun penonton mengetahui secara persis bahwa itu dari proses kerja jurnalistik yang susah," ungkapnya.

Ilham mempertanyakan kemampuan atau malah ketidakmampuan pers yang telah disediakan kanal digital oleh pemerintah.

"Bukan hanya kemasannya mengkilap, full-colour, dan lainnya. Tapi karya-karya itu tanpa Anda sentuh, tanpa Anda intimidasi, indoktrinasi, tanpa lakukan sesuatu, bisa bercerita sendiri. Ini kemampuan wartawan mengolah sebuah kisah, yang dari kisahnya itulah terdapat unsur-unsur filmis. Jadi wartawan membuat karya dengan mengajak orang untuk ikut masuk ke dalam karya itu," serunya.

Seruan dari Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat senada dengan pendapat pengamat media Agus Sudibyo yang mengutip Marshall McLuhan: 'the medium is the message'

"Bahwa memang iya 'content is the king', tapi 'medium is the message'. Jadi cara kita menyajikan konten, sering kali lebih meaningful, lebih determinatif, dibandingkan konten itu sendiri. Jadi cara menyajikan konten sering tidak kalah penting dibandingkan konten itu sendiri," tutur Agus, yang juga anggota Dewan Pers.

Menurut dia, dalam konteks itu ditemukan satu relevansi dari digitalisasi frekuensi. Karena salah satu yang dijanjikan digitalisasi frekuensi adalah kualitas broadcasting, audio, yang lebih baik. Kalau membicarakan jurnalisme televisi, itu salah satu faktor yang tidak kalah penting dari isi itu sendiri.

"Karena itu, digitalisasi frekuensi sangat penting, kita harus mengakselerasi proses ini. Pertama, untuk menyajikan sesuatu yang lebih baik yang lebih bagus kepada masyarakat dengan paradigma 'the medium is the message' tadi. Ini memberikan satu keseimbangan antara 'content is the king' dan 'the medium is the message'. Dua-duanya itu menurut saya harus paralel," tuturnya.

Agus menjelaskan, dalam konteks itulah transformasi digitalisasi frekuensi harus segera dilaksanakan. Katanya, "Kedua, kita sedang menghadapi transformasi digital yang tidak kalah penting. Karena hari ini yang kita bahas baru sekadar digitalisasi frekuensi, yang secara awam, salah satu unsurnya bahwa satu frekuensi bisa dipecah jadi delapan. Sehingga tidak ada lagi problem kekurangan kanal frekuensi. Di luar dimensi-dimensi yang lain."

Diungkapkannya, digitalisasi pada aras lain sedang dihadapi pula. Bukan hanya digitalisasi frekuensi, tapi juga digitalisasi penyajian konten, digitalisasi konsumsi konten oleh publik, digitalisasi transformasi dalam model bermedia, dan transformasi menemukan model-model jurnalisme kekinian yang terbaru.

Berita Lainnya
×
tekid