Pelaku kekerasan terhadap jurnalis cenderung bebas sanksi

Rata-rata 52 jurnalis dibunuh setiap tahun di seluruh dunia sepanjang 26 tahun belakangan, atau sekitar empat jurnalis dibunuh setiap bulan.

Aksi jurnalis di Hari Buruh Internasional. Alinea.id/Fadli Mubarok.

Kekerasan yang mengancam keselamatan diri dan profesionalisme jurnalis masih banyak terjadi di hampir seluruh negara di dunia. Dalam kasus di Indonesia, kekerasan itu baru-baru ini menelan nyawa dua wartawan. Hingga kini, belum ada penanganan hukum terhadap kasus ini.

Sebagaimana diberitakan, buntut konflik sosial antara masyarakat sipil dan perusahaan di Dusun VI Desa Wonosari, Panai Hilir, Labuhanbatu, Sumatera Utara menewaskan dua warga yang diduga berprofesi sebagai wartawan. Kedua jurnalis itu ialah Maraden Sianipar dan Martua Siregar ditemukan tak bernyawa, Rabu dan Kamis lalu (30 dan 31 Oktober).

Masyarakat setempat diketahui menolak pengembangan lokasi kawasan lahan perkebunan sawit di daerah itu. PT Sei Alih Berombang (SAB)/Koperasi Serba Usaha (KSU) Amelia sebagai pengusaha, membalasnya dengan menakuti warga dengan mengerahkan aparat keamanan. Bentrok antara perusahaan dan warga pun kerap terjadi.

Kasus ini berpeluang mengarah kondisi impunitas atau pembebasan dari tuntutan alias kebal hukum. Hal itu menjadi alarm bagi gambaran impunitas atas kekerasan terhadap jurnalis di dunia.

Organisasi Committee to Protect Journalists (CPJ) mencatat negara-negara yang secara teratur menjadi lokasi terbunuhnya jurnalis dengan para pembunuh yang dibiarkan bebas tanpa sanksi hukum. Meksiko tercatat sebagai negara dengan jumlah korban jurnalis tewas terbanyak tahun ini. Dikutip dari rilis media CPJ, Selasa (29/10), jumlah itu terus meningkat sejak 2008 sejalan kampanye dan teror yang disuarakan kelompok kartel lokal terhadap organisasi pers.