Siaran pers antara humas, wartawan, dan sudut pandang publik

Membuat tulisan berupa siaran pers jangan panjang-panjang. Intinya cukup satu halaman.

ilustrasi. foto Pixabay

Di penerbitan majalah Tempo, ada satu buku, judulnya 'Seandainya Saya Wartawan Tempo'. Buku itu adalah buku panduan untuk menulis. Di cover belakangnya, ada cerita seorang wartawan Tempo bertanya ke pelukis: "Pak, teori Bapak dalam melukis itu apa?" Terus si pelukis menjawab ke wartawannya: "Memang ada teori naik sepeda?" Artinya tidak ada teori naik sepeda. Kita tidak pernah membaca buku bagaimana cara naik sepeda. Atau artikel tentang bagaimana cara naik sepeda, itu tidak ada. Naik sepeda itu bisa karena latihan.

Cerita wartawan bertanya pada pelukis itu diuraikan oleh Qaris Tajudin, Direktur Tempo Institute, dalam webinar Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP), di penghujung 2021 lalu.

Qaris yang berpengalaman meliput perang Afghanistan, kejatuhan Hosni Mubarak di Mesir, dan mereportase perang di Libya membeberkan analogi naik sepeda itu dengan praktik menulis.

"Menulis juga begitu. Bisanya karena latihan, bukan karena teori. Jadi uraian yang selalu disampaikan bukan bagaimana menulis. Tapi, kesatu, bagaimana mempersiapkan tulisan. Kedua, bagaimana mengedit tulisan. Menulisnya sendiri tidak harus memakai teori. Karena kalau menggunakan teori, nanti menulisnya tidak pernah jadi," katanya.

Berbagi kiat tentang bagaimana membuat siaran pers kepada audiens BRSDMKP, Qaris menyarankan agar membuat tulisan berupa siaran pers jangan panjang-panjang. Intinya cukup satu halaman.