sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Siaran pers antara humas, wartawan, dan sudut pandang publik

Membuat tulisan berupa siaran pers jangan panjang-panjang. Intinya cukup satu halaman.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Kamis, 06 Jan 2022 10:54 WIB
Siaran pers antara humas, wartawan, dan sudut pandang publik

Di penerbitan majalah Tempo, ada satu buku, judulnya 'Seandainya Saya Wartawan Tempo'. Buku itu adalah buku panduan untuk menulis. Di cover belakangnya, ada cerita seorang wartawan Tempo bertanya ke pelukis: "Pak, teori Bapak dalam melukis itu apa?" Terus si pelukis menjawab ke wartawannya: "Memang ada teori naik sepeda?" Artinya tidak ada teori naik sepeda. Kita tidak pernah membaca buku bagaimana cara naik sepeda. Atau artikel tentang bagaimana cara naik sepeda, itu tidak ada. Naik sepeda itu bisa karena latihan.

Cerita wartawan bertanya pada pelukis itu diuraikan oleh Qaris Tajudin, Direktur Tempo Institute, dalam webinar Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP), di penghujung 2021 lalu.

Qaris yang berpengalaman meliput perang Afghanistan, kejatuhan Hosni Mubarak di Mesir, dan mereportase perang di Libya membeberkan analogi naik sepeda itu dengan praktik menulis.

"Menulis juga begitu. Bisanya karena latihan, bukan karena teori. Jadi uraian yang selalu disampaikan bukan bagaimana menulis. Tapi, kesatu, bagaimana mempersiapkan tulisan. Kedua, bagaimana mengedit tulisan. Menulisnya sendiri tidak harus memakai teori. Karena kalau menggunakan teori, nanti menulisnya tidak pernah jadi," katanya.

Berbagi kiat tentang bagaimana membuat siaran pers kepada audiens BRSDMKP, Qaris menyarankan agar membuat tulisan berupa siaran pers jangan panjang-panjang. Intinya cukup satu halaman.

"Mengapa sampai sekarang kita masih membutuhkan siaran pers? Di satu sisi, ada Humas (public relations), di sisi lain ada media massa. Komunikasi atau saluran informasi dari satu lembaga Humas ke media massa itu lebih banyak melalui siaran pers. Walaupun ada juga yang lain seperti konferensi pers, mengundang wawancara, dan sebagainya. Biasanya komunikasi satu arahnya datang dari Humas, dengan harapan informasi itu akan sampai ke publik," sambungnya.  

Tahap selanjutnya bagaimana media membawa siaran pers ke publik itu lewat berita. "Kalau diibaratkan, maka siaran pers itu seperti telur mentah. Lalu berita itu adalah telur yang sudah matang. Ada media yang membuatnya menjadi telur mata sapi atau telur dadar atau telur orak-arik dan lainnya. Tapi bahannya sama. Perbedaannya kemungkinan, pertama, adalah perbedaan dari jenis medianya," tutur Qaris.

Dicontohkannya, kalau siaran pers dikirim ke Bisnis Indonesia, misalnya, maka yang lantas banyak diambil adalah data ekonominya. Maka telur itu dimasak dari sudut pandang ekonomi. Tapi kalau siaran pers yang sama dikirim ke harian Kompas mungkin yang diangkat adalah masalah kesejahteraan rakyat atau sosial. Walaupun tidak selamanya begitu. Jadi masing-masing media memiliki cara pandang yang berbeda.

Sponsored

Siaran pers itu dibuat menjadi berita nanti juga berbeda. Ada yang dibuat sebagai berita langsung, pendek, dan online. Ada juga media yang membuatnya menjadi berita panjang. Karena setiap publik dari tiap media itu berbeda," cetusnya.

Menurut Qaris, sekarang, lembaga Humas bisa langsung menyentuh publik karena sudah punya media sosial atau website sendiri. Jadi bisa langsung membuat berita ke publik tanpa melalui pers lagi. Karena itu, yang disajikan kemudian adalah berita yang sudah matang. Lalu, apakah lembaga Humas tidak perlu membuat siaran pers? Sementara media tetap membutuhkan itu.

"Siaran pers itu tetap memerlukan media massa untuk menggapai pembaca yang lebih banyak. Karena memang ada lembaga-lembaga Humas yang memiliki followers (pengikut) yang lebih banyak dari pers. Tapi ada juga yang tidak, sehingga tetap perlu membuat siaran pers agar banyak media yang kemudian akan menyiarkannya. Banyak publik yang akan mendapatkan berita itu juga. Jadi usahakanlah membuat siaran pers itu seperti membuat berita," kiatnya.

Dibubuhkannya bahwa setiap hari satu media bisa menerima puluhan siaran pers. Kadang-kadang jangankan menuliskannya lagi jadi berita, bahkan membacanya saja tidak sempat. Sehingga redaksi menjadi sangat selektif. Kalau judul siaran pers saja sudah tidak menarik, maka itu tidak akan dipublikasikan.

"Siaran pers itu adalah informasi yang dibagikan kepada media massa oleh lembaga Humas untuk diberitakan. Tujuan pertamanya, untuk diberitakan. Tapi kalau tidak diberitakan media massa, belum tentu siaran pers itu tidak berguna," tambahnya.

Diuraikan, ada tujuan kedua dari siaran pers buatan lembaga Humas, yaitu memberikan pemahaman kepada media tentang suatu hal. Kadang-kadang wartawan mengetahui sesuatu dari siaran pers, namun belum tentu hari itu juga dibuat beritanya. Di sisi lain, ada tuntutan dari lembaga Humas supaya siaran pers itu untuk segera dipublikasikan.

"Hal pertama, yang paling penting, untuk menulis siaran pers -- dan ini adalah hal yang paling susah untuk dilakukan -- adalah mengubah sudut pandang. Kesulitan ini tidak hanya dialami Humas, tapi juga dialami oleh banyak sekali wartawan. Mengubah dari sudut pandang pribadi menjadi sudut pandang pembaca," ungkap Qaris.

Dia mengatakan, wartawan terkadang kukuh dengan sudut pandang yang mereka miliki. Tanpa melihat sudut pandang dari orang lain. Wartawan memilihkan sesuatu informasi untuk publik, padahal belum tentu pilihan itu tepat. Jadi kesulitan utama ialah dalam soal sudut pandang.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid