20 tahun reformasi, kasus penyiksaan terus meningkat

Penyiksaan di Indonesia bersifat repetitif, berkesinambungan, dan dijadikan sebagai cara mendapatkan informasi atau penghukuman oleh aparat.

Koordinator Kontras Yati Andriani (tengah) saat konferensi Pers 20 Tahun Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan: Situasi dan Penanganan Praktik Penyiksaan di Indonesia Masih Kelam di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (26/6) (Saumi/ Alinea).

Selang 20 tahun sejak reformasi bergulir, Indonesia telah meratifikasi 'Konvensi Anti Penyiksaan dan Perbuatan Tindak Manusiawi Lainnya'. Ada juga perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan jaminan untuk bebas dari tindakan penyiksaan seperti UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM atau UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.

Meski sudah memiliki regulasi yang memadai soal jaminan HAM, namun menurut koordinator Komisi Untuk Orang Hilang (Kontras) Yati Andriani, kasus penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi periode Juni 2017 sampai dengan Mei 2018 masih tinggi. “Data yang kami himpun ini data yang berasal dari pengaduan-pengaduan yang Kontras tangani serta pemantauan dari media,” papar Yati.

Menurutnya, TNI dan Polri juga memiliki aturan-aturan spesifik yang melarang penyiksaan. “Tapi realitasnya kami masih sering menemukan praktik-praktik penyiksaan yang dilakukan dua institusi tersebut,” ujar Yati saat konferensi Pers '20 Tahun Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan: Situasi dan Penanganan Praktik Penyiksaan di Indonesia Masih Kelam', di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (26/6).

Penyiksaan tersebut, kata Yati, bersifat repetitif atau berulang, berkesinambungan, dan terus menerus dijadikan sebagai cara mendapatkan informasi maupun penghukuman yang dilakukan aparat keamanan dan penegak hukum.

Kepala bidang advokasi Kontras Putri Kanesia memaparkan, sejak 2010 terjadi peningkatan kasus penyiksaan setiap tahunnya. “Yang menarik adalah, di tahun 2014-2015, angkanya justru turun dari 108 ke 84,” ucapnya.