92 akademisi menolak Omnibus Law Cipta Kerja

Penolakan dikonsolidasikan lewat penyebaran petisi daring untuk menghimpun argumen kritis akademisi secara kolektif terkait Omnibus Law RUU.

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Pejuang Hak-hak Buruh berunjuk rasa di Alun-alun Serang, Banten, Sabtu (21/3).Foto Antara/Asep Fathulrahman/hp.

Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang sarat akan kontroversi dan banjir penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Bahkan, kalangan akademisi disebut telah semenjak awal menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Pasalnya, Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini dinilai telah menyingkirkan hak rakyat.

Penolakan dikonsolidasikan lewat penyebaran petisi daring untuk menghimpun argumen kritis akademisi secara kolektif terkait Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini. Hingga April 2020, petisi daring tersebut telah ditandatangani sebanyak 92 akademisi. Tercatat sebanyak tiga professor, dua di antaranya guru besar, 30 doktor, 57 magister, serta dua sarjana.

Penandatangan petisi daring tersebut merupakan simbol penyerahan kepada Presiden Joko Widodo dan DPR secara terbuka. Sehingga, diharapkan bisa menjadi pertimbangan untuk menghentikan dan mencabut Omnibus Law RUU Cipta Kerja dari Program Legislasi Nasional.

Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti menilai, proses pembentukan Omnibus Law RUU Cipta Kerja telah melanggar asas keterbukaan karena dilakukan secara tidak transparan dan minim partisipasi publik.

“Selama proses perancangan, Pemerintah tidak pernah secara terbuka menyampaikan kepada masyarakat, bahkan terkesan sembunyi-sembunyi dan publik baru dapat mengaksesnya setelah RUU tersebut selesai dirancang oleh Pemerintah dan diserahkan kepada DPR. Hal ini tentu melanggar asas keterbukaan yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” ucapnya dalam keterangan tertulis, Rabu (22/4).