Alasan kasus korupsi sebaiknya hanya disidik oleh KPK

Tindak pidana korupsi tergolong kejahatan luar biasa. Seharusnya ditangani lembaga yang memiliki kewenangan luas, yang mana ada pada KPK.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menyampaikan keterangan pers di gedung KPK, Jakarta, Kamis (14/3/2019). Antara Foto

Guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Eddy O.S Hiarie, menyarankan untuk mengembalikan penyidik tunggal tindak pidana korupsi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, tindak pidana korupsi tergolong kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime.

“Seharusnya ditangani lembaga yang memiliki kewenangan luas, yang mana kewenangan tersebut terdapat pada KPK,” kata Eddy dalam sebuah seminar di Jakarta pada Selasa, (19/3).

Menurut Eddy, hanya di Indonesia wewenang menyidik tindak pidana korupsi diberikan kepada lebih dari satu lembaga yakni kejaksaan, kepolisian, dan KPK. Celakanya, tiga lembaga itu memiliki standar yang berbeda-beda. Akibatnya, muncul diskriminasi.

"Sebetulnya, mau seratus atau seribu lembaga, bahkan ataupun lebih, tidak masalah. Asalkan standarnya sama. Tapi ini persoalannya standarnya tidak sama, maka terjadi diskriminasi," ujar Eddy.

Karena tak memiliki standar yang sama itulah, Eddy menyarankan untuk melimpahkan seluruh wewenang menyidik tindak pidana korupsi kepada KPK.