Ambang batas pilpres buyarkan impian rakyat

Siti Zuhro harap Indonesia belajar dari pengalaman pilpres 2019 yang menimbulkan pembelahan masyarakat.

Pengamat politik LIPI, Siti Zuhro/Foto Menpan.go.id

Siti Zuhro, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menilai ambang batas pilpres (presidential threshold) tidak diperlukan karena membuat kompetisi tak berlangsung adil. Pasangan calon (paslon) yang muncul kemungkinan besar hanya nama lama dan yang tidak asing di telinga masyarakat.

Ambang batas ini, kata Siti, juga menyulitkan kaum perempuan dalam mencalonkan diri menjadi presiden. Bahkan, merugikan gerakan politik perempuan yang menjadi minoritas atau alternatif.

Selain kaum perempuan kelompok yang sulit untuk maju jadi presiden adalah anak muda, figur-figur nonpartai, tokoh daerah yang tidak terafiliasi dengan parpol. “Ambang batas pilpres membuat fungsi representasi tidak efektif karena paslon berasal dari kubu tertentu saja,” ujar Siti Zuhro dalam webinar "Pilpres 2024 : Menyoal Presidential Threshold" via Zoom, Minggu (14/11/21).

Siti Zuhro menambahkan, Indonesia merupakan negara majemuk yang Bhinneka Tunggal Ika. Sistem multipartai di negara yang majemuk seperti Indonesia harusnya tidak hanya memunculkan dua paslon saja. Banyak masyarakat majemuk yang tidak terwakili dalam skema pilpres yang tidak didesain untuk kepentingan rakyat dan membangun demokrasi yang substantif.

Presidential Threshold dinilai tidak perlu karena Indonesia butuh menambah variasi paslon yang berkompetisi dalam pilpres. Dengan jumlah penduduk mencapai 270 juta jiwa lebih, plus tantangan baru yang lebih, maka wajar muncul beberapa paslon yang merepresentasikan aspirasi dan kepentingan pemilih yang majemuk.