sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ambang batas pilpres buyarkan impian rakyat

Siti Zuhro harap Indonesia belajar dari pengalaman pilpres 2019 yang menimbulkan pembelahan masyarakat.

Dave Linus Piero
Dave Linus Piero Minggu, 14 Nov 2021 22:09 WIB
Ambang batas pilpres buyarkan impian rakyat

Siti Zuhro, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menilai ambang batas pilpres (presidential threshold) tidak diperlukan karena membuat kompetisi tak berlangsung adil. Pasangan calon (paslon) yang muncul kemungkinan besar hanya nama lama dan yang tidak asing di telinga masyarakat.

Ambang batas ini, kata Siti, juga menyulitkan kaum perempuan dalam mencalonkan diri menjadi presiden. Bahkan, merugikan gerakan politik perempuan yang menjadi minoritas atau alternatif.

Selain kaum perempuan kelompok yang sulit untuk maju jadi presiden adalah anak muda, figur-figur nonpartai, tokoh daerah yang tidak terafiliasi dengan parpol. “Ambang batas pilpres membuat fungsi representasi tidak efektif karena paslon berasal dari kubu tertentu saja,” ujar Siti Zuhro dalam webinar "Pilpres 2024 : Menyoal Presidential Threshold" via Zoom, Minggu (14/11/21).

Siti Zuhro menambahkan, Indonesia merupakan negara majemuk yang Bhinneka Tunggal Ika. Sistem multipartai di negara yang majemuk seperti Indonesia harusnya tidak hanya memunculkan dua paslon saja. Banyak masyarakat majemuk yang tidak terwakili dalam skema pilpres yang tidak didesain untuk kepentingan rakyat dan membangun demokrasi yang substantif.

Presidential Threshold dinilai tidak perlu karena Indonesia butuh menambah variasi paslon yang berkompetisi dalam pilpres. Dengan jumlah penduduk mencapai 270 juta jiwa lebih, plus tantangan baru yang lebih, maka wajar muncul beberapa paslon yang merepresentasikan aspirasi dan kepentingan pemilih yang majemuk.

Berdasarkan kajian pakar Keluarga Alumni Himpunan Mahasiswa Indonesia (KAHMI), dengan mengambil pengalaman Pemilu Serentak 2019, ambang batas pilpres bagi pencalonan tidak perlu. KAHMI menemukan bahwa persoalan polarisasi sosial-politik adalah dampak dari calon presiden dan wakil yang hanya cuma ada dua calon saja.

Untuk menghindari polarisasi tersebut, KAHMI merekomendasikan setiap parpol yang memiliki kursi di parlemen dapat mencalonkan capres. “KAHMI juga menilai agar tidak terjadi rekayasa pencalonan yang mengarah pada calon tunggal, perlu ada pembatasan syarat pencalonan agar tidak melebihi 30% kursi partai di parlemen,” jelas Siti Zuhro.

Dijelaskan Siti, koalisi politik dimaksudkan untuk membangun pemerintahan yang memiliki kapasitas demi mewujudkan pemerintah yang efektif dan meningkatkan implementasi kebijakan kesejahteraan sosial dan ekonomi.

Sponsored

Dengan menjalankan hal tersebut, maka presiden tidak hanya terkerangkeng oleh partai pengusung, tetapi juga karena legitimasi presiden berasal dari rakyat melalui mekanisme pemilihan mayoritas (mayoritas 50+1). “Oleh karena itu, presiden memiliki tanggung jawab secara moral dan politik kepada kepentingan rakyat yang memilihnya,” ujarnya.

Siti Zuhro juga menekankan agar  Indonesia belajar dari pengalaman pilpres 2019 yang menimbulkan pembelahan dalam masyarakat. “Pemilu 2019 telah menimbulkan polarisasi atau keterbelahan sosial-politik yang akut akibat pembelahan sosial-politik pada tingkat masyarakat dan elite. Polarisasi tersebut dipicu oleh syarat calon presiden dan wapres yang tinggi,” ungkapnya.

Siti menilai, ambang batas pilpres membuyarkan impian rakyat untuk menyaksikan kompetisi yang sehat yang diikuti paslon-paslon yang merepresentasikan aspirasi masyarakat yang majemuk. Indonesia merupakan negara yang majemuk dan beragam, oleh karena itu rakyat perlu diberikan alternatif calon pemimpin yang lebih banyak.

“Sebagai representatif rakyat, parpol perlu mendengar aspirasi rakyat,” tutup Siti Zuhro.

Berita Lainnya
×
tekid