Banyaknya korban TPPO di Indonesia karena surplus demografi

Perbudakan modern dari ABK hingga jual ginjal semakin sulit diberantas di tengah pandemi Covid-19.

Ilustrasi kapal ikan / Pixabay

Memberantas perdagangan manusia bukanlah perkara mudah. Sebab, persoalan tersebut merupakan masalah berskala besar. 

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi mengungkapkan, upaya memberantas perdagangan orang di tengah pandemi bakal lebih menantang. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kata dia, juga turut khawatir karena Covid-19 mempersulit tugas mengidentifikasi korban perdagangan manusia.

Korban perdagangan manusia juga berpotensi terpapar Covid-19, karena minim pencegahan dan memiliki akses  terbatas untuk pemulihan kesehatan. Edwin mengakui, banyaknya korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Indonesia karena surplus demografi dengan angka usia produktif 68% dari 267 juta penduduk pada 2019.

"Perbudakan modern yang dialami warga Indonesia tidak hanya terjadi di dalam negeri namun juga di luar negeri. Jenis pekerjaan para korban dari dunia hiburan, ABK, pertanian, dan asisten rumah tangga hingga lakukan transplantasi ginjal," kata Edwin, dalam keterangan tertulis, Senin (3/8).

Berdasar catatan LPSK, angka permohonan perlindungan korban TPPO setiap tahunnya menunjukkan tren kenaikan jumlah korbannya. Pada 2015, terdapat 46 permohonan, meningkat menjadi 117 permohonan pada 2017. Lalu, 176 permohonan pada 2019 dan pada Juni di tahun 2020 telah ada 120 permohonan.