sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Banyaknya korban TPPO di Indonesia karena surplus demografi

Perbudakan modern dari ABK hingga jual ginjal semakin sulit diberantas di tengah pandemi Covid-19.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Senin, 03 Agst 2020 12:07 WIB
Banyaknya korban TPPO di Indonesia karena surplus demografi

Memberantas perdagangan manusia bukanlah perkara mudah. Sebab, persoalan tersebut merupakan masalah berskala besar. 

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi mengungkapkan, upaya memberantas perdagangan orang di tengah pandemi bakal lebih menantang. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kata dia, juga turut khawatir karena Covid-19 mempersulit tugas mengidentifikasi korban perdagangan manusia.

Korban perdagangan manusia juga berpotensi terpapar Covid-19, karena minim pencegahan dan memiliki akses  terbatas untuk pemulihan kesehatan. Edwin mengakui, banyaknya korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Indonesia karena surplus demografi dengan angka usia produktif 68% dari 267 juta penduduk pada 2019.

"Perbudakan modern yang dialami warga Indonesia tidak hanya terjadi di dalam negeri namun juga di luar negeri. Jenis pekerjaan para korban dari dunia hiburan, ABK, pertanian, dan asisten rumah tangga hingga lakukan transplantasi ginjal," kata Edwin, dalam keterangan tertulis, Senin (3/8).

Berdasar catatan LPSK, angka permohonan perlindungan korban TPPO setiap tahunnya menunjukkan tren kenaikan jumlah korbannya. Pada 2015, terdapat 46 permohonan, meningkat menjadi 117 permohonan pada 2017. Lalu, 176 permohonan pada 2019 dan pada Juni di tahun 2020 telah ada 120 permohonan.

Dia menjelaskan, total sebanyak 704 jumlah korban TPPO telah mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK sejak 2015 hingga Juni 2020. Sebanyak 438 perempuan korban TPPO. Sisanya, 266 laki-laki korban TPPO. 

"Di antara korban itu masih berusia anak. 126 dari 147 anak yang jadi korban adalah perempuan. Bila dilihat domisili korban TPPO, Provinsi Jawa Barat berada pada posisi teratas dengan angka 28,98%, diikuti DKI Jakarta 14,77%, dan NTT 8,24%," tutur Edwin.

Berdasarkan investigasi LPSK, alasan mereka menjadi pekerja migran karena tidak diberikan kesempatan bekerja di dalam negeri; upah lebih tinggi di luar negeri; dampak positif terhadap aspek sosial ekonomi rumah tangga; dan meningkatkan prospek kerja jangka panjang. 

Sponsored
Berita Lainnya
×
tekid