Diskon rokok dalam Peraturan Dirjen Bea Cukai dipertanyakan

Tubagus Haryo Karbyanto menilai, jika diskon rokok tidak dibatalkan sulit untuk memiliki visi membangun kualitas SDM.

Seorang petugas Bea Cukai membuka bungkusan rokok ilegal di Kantor Wilayah Dirjen Bea Cukai Kalimantan Bagian Barat, Senin (20/4)/Foto Antara/Jessica Helena Wuysang.

Pemerintah harus batalkan kebijakan diskon rokok. Sebab, harga terjangkau dan lebih murah dari ketentuan peraturan mengakibatkan anak dan remaja masih dapat mengakses rokok dengan mudah. 

Pegiat Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), Tubagus Haryo Karbyanto mengungkapkan, jika diskon rokok tidak dibatalkan sulit untuk memiliki visi membangun kualitas sumber daya manusia (SDM), dalam perekonomian negara masa depan. "Kebijakan diskon rokok bertentangan dengan tujuan negara. Yakni, visi misi Presiden, RPJM, SDGs, dan filosofi pengendalian tembakau itu sendiri, khususnya pada filosofi pemungutan cukai," kata Tubagus di JAkarta, Jumat (5/6).

Dia menjelaskan, kebijakan ini secara sosiologis memperparah dan mempermudah akses barang adiktif pada masyarakat serta ancaman bonus demografi Indonesia. "Ini jelas bertentangan dengan hukum, dengan PP 109/2012, Undang-Undang (UU) Kesehatan, UU Cukai, UU Perlindungan anak, UU Perlindungan konsumen," tegasnya.

Apalagi, cukai dikenal menjadi instrumen pamungkas pemerintah dalam pengendalian konsumsi rokok dan mengurangi keterjangkauan pada kelompok rentan dan anak-anak. Menurut Tubagus, pada 2020 cukai rokok naik 23%, tidak berhenti sampai disitu, pemerintah juga memaksa menaikkan harga rokok hingga 35%. 

Kebijakan tersebut, melalui PMK 152/2019, harga jual rokok di pasar dipatok dengan tegas, tidak boleh lebih rendah dari 85% dari harga dalam pita cukai. Dengan demikian, pemerintah secara teori mengerem praktek pengenaan harga rokok serendahnya oleh pabrikan untuk menjaga harga rokoknya tetap murah.