Dituduh mata-mata asing, Ravio Patra: UU ITE dibutuhkan

Hukum harus menciptakan ketertiban, bukan malah memunculkan chaos di berbagai elemen masyarakat.

Baiq Nuril hanya satu dari sekian banyak orang yang terjerat pasal karet UU ITE. Alinea.id/Sulthanah Utarid

Peneliti kebijakan publik dan pegiat advokasi legislasi, Ravio Patra, menceritakan pengalamannya ketika dijerat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

"Saya dikata-katain, difitnah dinarasikan sebagai mata-mata asing suatu negara. Kalau saya bereaksi dengan melaporkan banyak orang-orang, ujungnya satu negara dipenjara kan?" kata Ravio ketika diminta pendapat oleh tim pengkaji UU ITE dalam keterangan tertulis, Rabu (3/3).

Semestinya, menurut dia, hukum menciptakan ketertiban, bukan malah memunculkan chaos di berbagai elemen masyarakat. Berkaca dari pengalaman berhadapan dengan pihak kepolisian saat dilaporkan, UU ITE dinilai bentuk bentuk pengekangan kebebasan sipil.

"Saya sebenarnya secara pribadi penginnya (UU ITE) dihapus, tetapi karena saya juga paham ada kebutuhan, saya juga mengakui juga memahami bahwa secara global banyak negara masih belajar mengatur medium internet," ucap dia.

Menurut Ravio, pasal-pasal UU ITE di Indonesia rentan disalahgunakan. Hanya terjadi di Indonesia, terlalu cepat terlalu beringas tidak ada moderasinya dan berlebihan responnya.