Dugaan pembantu Jokowi di bisnis PCR, BPK didesak turun tangan

Naik turun harga tes PCR jadi salah satu pintu masuk bagi BPK mengaudit keuangan negara.

Warga mengikuti test usab Covid-19 menggunakan mobil lab PCR di RSUD Sidoarjo, Jatim, Kamis (28/5/2020)/Foto Antara/Umarul Faruq 1.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia didesak mengaudit terkait kebijakan polymerase chain reaction (PCR) pemerintah. Desakan ini muncul dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan bersama Indonesian Audit Watch (IAW), Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta, dan Petisi 28.

LBH merujuk pada temuan publik berupa dugaan terjadinya afiliasi beberapa individu penyelenggara negara, yaitu pembantu Presiden Joko Widodo yang ikut menciptakan aturan wajib tes PCR dan diduga terlibat dalam putaran bisnis impor sampai tata kelola test PCR.

Untuk itu, LBH Kesehatan mendesak BPK RI  menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai auditor keuangan negara. LBH menilai, kewajiban test PCR bagi pengguna moda transportasi udara dan atau pasien yang akan mendapat tindakan medik, telah berimplikasi terhadap bertambahnya beban belanja masyarakat sekitar Rp23 triliun.

"Menurut kami, di saat perekonomian melemah serta angka pengangguran dan kemiskinan meningkat, sehingga patut untuk menyebut bahwa timbulnya beban tersebut adalah sesuatu tindakan yang tidak adil," bunyi keterangan tertulis LBH Kesehatan, Selasa (9/11/2021).

LBH Kesehatan kemudian menyinggung Surat Keputusan Presiden  nomor 7 tahun 2020, tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, yang menekankan penerapan protokol kesehatan sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia WHO yakni memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan.