sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dugaan pembantu Jokowi di bisnis PCR, BPK didesak turun tangan

Naik turun harga tes PCR jadi salah satu pintu masuk bagi BPK mengaudit keuangan negara.

Natasya
Natasya Selasa, 09 Nov 2021 17:19 WIB
Dugaan pembantu Jokowi di bisnis PCR, BPK didesak turun tangan

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia didesak mengaudit terkait kebijakan polymerase chain reaction (PCR) pemerintah. Desakan ini muncul dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan bersama Indonesian Audit Watch (IAW), Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta, dan Petisi 28.

LBH merujuk pada temuan publik berupa dugaan terjadinya afiliasi beberapa individu penyelenggara negara, yaitu pembantu Presiden Joko Widodo yang ikut menciptakan aturan wajib tes PCR dan diduga terlibat dalam putaran bisnis impor sampai tata kelola test PCR.

Untuk itu, LBH Kesehatan mendesak BPK RI  menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai auditor keuangan negara. LBH menilai, kewajiban test PCR bagi pengguna moda transportasi udara dan atau pasien yang akan mendapat tindakan medik, telah berimplikasi terhadap bertambahnya beban belanja masyarakat sekitar Rp23 triliun.

"Menurut kami, di saat perekonomian melemah serta angka pengangguran dan kemiskinan meningkat, sehingga patut untuk menyebut bahwa timbulnya beban tersebut adalah sesuatu tindakan yang tidak adil," bunyi keterangan tertulis LBH Kesehatan, Selasa (9/11/2021).

LBH Kesehatan kemudian menyinggung Surat Keputusan Presiden  nomor 7 tahun 2020, tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, yang menekankan penerapan protokol kesehatan sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia WHO yakni memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan.

"Disebutkan juga bahwa semua instrumen pelaksana harus mempertanggungjawabkan segala sesuatu kepada Presiden," jelasnya.

Tes PCR, urai LBH, hanya tepat bila dilakukan secara ketat terhadap pelaku perjalanan lintas negara. Itu bertujuan untuk mencegah strain atau jenis virus baru yang masuk ke Indonesia yang berasal dari luar negeri.

"Sudah menjadi pengetahuan publik tentang perspektif epidemiologi dan ketepatan tes PCR, namun ternyata para pembantu Presiden tetap menerapkan wajib tes PCR terhadap pengguna moda transportasi udara dan bagi pasien yang akan dilakukan tindakan medik di sarana pelayanan kesehatan," ungkapnya.

Sponsored

Mereka menilai, perubahan-perubahan harga tes PCR dari kisaran Rp. 2.500.000 ke Rp275.000 bisa menjadi salah satu pintu bagi auditor keuangan negara untuk mencocokkan terhadap pemeriksaan penggunaan dana Covid-19.

"Mengapa sampai sedemikian yang terjadi sehingga harga bisa dengan mudah diturunkan. Bahkan harga itu menjadi seperti di luar kelaziman. Padahal komponen pemeriksaan dalam penetapan batas tertinggi tarif PCR adalah bahan habis pakai berupa reagen hingga alat pelindung diri (APD) petugas laboratorium, komponen administrasi, serta biaya lainnya seperti biaya operasional mesin PCR dan listrik," katanya.

"Semoga permohonan kami ini semakin bisa disempurnakan oleh Badan karena kemampuan serta kewenangannya dijamin oleh Undang-undang," pungkasnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan diduga terlibat dalam bisnis polymerase chain reaction (PCR). PT Toba Sejahtra dan PT Toba Bumi Energi yang terafiliasi dengan Luhut Binsar Pandjaitan, tercatat menaruh saham di PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang disebut-sebut terlibat dalam bisnis PCR.

Namun, Menko Luhut membantah tudingan mengambil untung dalam bisnis PCR melalui PT GSI. Ia mengklaim, PT GSI membantu penyediaan tes Covid-19 yang terkendala pada awal pandemi tahun lalu. PT GSI disebut berdiri bukan untuk mencari profit.

“Saya tidak pernah sedikit pun mengambil keuntungan pribadi dari bisnis yang dijalankan PT. Genomik Solidaritas Indonesia,” ucapnya dalam keterangan tertulis di Instagram Story akun pribadi-nya @luhut.pandjaitan, Kamis (4/11).

Berita Lainnya
×
tekid