Ego sektoral pemerintah dan bom waktu kepanikan coronavirus

Langkah pemerintah menerapkan kebijakan satu pintu ihwal informasi corona virus dinilai akan berdampak negatif.

Warga berjalan dengan latar depan spanduk bertuliskan COVID-19 di jalan Margonda, Depok, Jawa Barat, Kamis (12/3/2020).Foto Antara/Asprilla Dwi Adha

Langkah pemerintah pusat dalam menangani penyebaran coronavirus di Indonesia dinilai bertolak belakang dengan tujuan yang diinginkan. Kebijakan satu pintu terhadap informasi penyebaran COVID-19, dinilai justru akan menjadi bom waktu kepanikan masyarakat, sesuatu yang justru ingin dihindari pemerintah.

Kebijakan pemerintah ini dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Sebab regulasi tersebut mensyaratkan penanganan kesehatan dikerjakan pemerintah pusat besama pemerintah daerah.

Menurut pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah, penujukkan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto sebagai juru bicara pemerintah untuk urusan corona, menunjukkan keegoisan pemerintah. Padahal, dalam implementasinya koordinasi penanganan virus antara pemerintah pusat dan daerah masih lemah.

"Selama ini yang terjadi pemerintah pusat itu ego sektoral. Jadi semuanya dikendalikan oleh pusat, daerah tidak boleh bicara. Padahal yang terjadi kan sebenarnya pusat sendiri koordinasinya sangat lemah," ujar Trubus kepada reporter Alinea.id di Jakarta, Jumat (13/3.

Lemahnya koordinasi terlihat saat "disemprotnya" beberapa kepala daerah yang mengumumkan kasus coronavirus lebih awal dari Pemerintah Pusat. Semisal Wali Kota Depok, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan terakhir Gubernur Banten.