Fitra cium ada indikasi korupsi pada pengadaan obat HIV 

Fitra menemukan ada perbedaan harga obat HIV yang dibeli pemerintah dengan harga di pasar internasional yang selisihnya cukup jauh.

Ilustrasi HIV/Aids

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mencium ada indikasi korupsi pada pengadaan obat HIV/Aids yang digelontorkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Fitra menemukan ada perbedaan harga obat yang dibeli pemerintah dengan harga di pasar internasional yang selisihnya cukup jauh.

Tim Advokasi Sekretariat Nasional Fitra, Gulfino Guevarrato, mengatakan obat Anti Retroviral (ARV) untuk penderita HIV/Aids dibeli pemerintah mencapai Rp385 ribu per botol. Padahal, harga di pasar internasional berkisar US$8 sampai US$9 per botol atau sekitar Rp115 ribu. Artinya, ada selisih dana sekitar Rp270 ribu untuk setiap botolnya. 

“Dana kelebihan ini berpotensi masuk ke perusahaan BUMN farmasi,” kata Gulfino dalam sebuah jumpa pers di Jakarta pada Kamis (19/9).

Menurut Gulfino, ada dua perusahaan farmasi milik BUMN yang mendapat keuntungan dari pengadaan obat HIV/Aids tersebut yang dilakukan pemerintah. Itu antara lain PT Kimia Farma dan PT Indofarma. Kedua perusahaan tersebut diketahui mengantongi izin edar obat ARV. 

“Jika ada selisih harga cukup jauh karena disebabkan bea masuk dan pajak pertambahan nilai, hal tersebut tidaklah mungkin,” ujarnya.