Gawat darurat polusi udara di Jakarta

Kualitas udara yang buruk di Jakarta berdampak pada kesehatan warga yang terpapar polusi.

Pada 25 Juli 2019 pagi, Jakarta menjadi kota dengan kualitas udara paling buruk di dunia. Alinea.id/Oky Diaz.

Sejak 1995, Istu Prayogi rutin mengonsumsi obat-obatan dari dokter lantaran sakit paru-paru kronik—terdapat bercak-bercak putih yang menumpuk di toraks. Penyakit itu disebabkan paparan polusi di Jakarta.

Demi kenyamanan, sehari-hari ia harus mengenakan masker, dan wajib menyemprot lubang hidungnya dengan cairan triamcinolone acetonide dan natrium klorida 0,9% dua kali sehari.

"Baru-baru ini saya kembali memeriksakan diri ke dokter dan langsung dirujuk ke poli THT (telinga, hidung, tenggorokan). Hasilnya, saya dinyatakan terkena sinusitis karena menurut dokter saya sensitif terhadap udara kotor," kata Istu saat dihubungi Alinea.id, Kamis (11/7).

Kondisi ini tentu saja membuat fisik Istu lemah, dan aktivitasnya terganggu. Biaya pengobatannya pun membuat beban.

Menurutnya, asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang diberikan pemerintah tak banyak meringankan biaya perawatan dan penyembuhan penyakit-penyakit tersebut.

"Saya harap pemerintah dapat menjalankan tanggung jawab dan kapasitasnya semaksimal mungkin dalam memenuhi hak dasar rakyat Indonesia, agar kita sama-sama bisa hidup dengan udara yang bersih," tuturnya.