Getir pekerja rumahan: tanpa payung hukum, rentan dieksploitasi

"Ngerjainnya mah sepatu (merek) mahal semua, tapi upahnya jauh banget..."

Jaeni, 56 tahun, mengasuh cucunya di kediamannya di Kapuk Muara, Jakarta Utara, Senin (6/3) siang. Jaeni sudah belasan tahun jadi pekerja rumahan pengelem sol sepatu. Alinea.id/Akbar Ridwan

Jaeni, 56 tahun, kembali jadi "pengangguran". Belum mendapat pesanan-pesanan pekerjaan baru, Jaeni menghabiskan waktu dengan mengurus kedua cucunya yang masih kecil-kecil. Biasanya, Jaeni berkutat dengan lem, kuas, dan sol sepatu. 

"Sudah 15 tahun ada kali (jadi pekerja rumahan/PR). Sebelumnya, saya nyuci-gosok (pakaian) pas lagi sehat. Sekarang, sudah enggak bisa kerja di luar,” kata Jaeni saat berbincang dengan Alinea.id di kediamannya di Kapuk Muara, Jakarta Utara, Senin (6/3) siang. 

Sehari-hari, Jaeni bekerja mengelem alas dalam sepatu atau insole. Pekerjaan itu didapat dari dua perantara. Jika pesanan sedang menumpuk, Jaeni--bersama dua anggota keluarganya--bisa mengelem hingga 300 pasang insole

“Sekeluarga dikerjain tiga orang. Kalau sendiri, paling sehari seratus pasang juga enggak sampai kali. Satu perantara (upahnya) Rp300 perak (per pasang). Satunya lagi Rp275 perak. Ngerjainnya mah sepatu (merek) mahal semua, tapi upahnya jauh banget,” kata Jaeni sembari menunjukkan salah satu sol sepatu yang ia garap. 

Meskipun sudah belasan tahun bekerja sebagai tukang lem sol sepatu, Jaeni tak pernah benar-benar tahu siapa bos dia sebenarnya. Pesanan kerja selalu datang dari perantara. Tak seperti buruh pada umumnya, Jaeni juga tak mendapat jaminan kesehatan atau ketenagakerjaan.