ICJR: Hentikan kriminalisasi buta perempuan aborsi!

RKUHP versi full September 2019 dalam Pasal 469 jo Pasal 471 mengkriminalisasi setiap perempuan yang menggugurkan kandungan.

Ilustrasi aborsi. Alinea.id/Oky Diaz.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menagih kejelasan implementasi penyelenggaraan aborsi aman di Indonesia. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan sesungguhnya telah mengatur kerangka hukum terkait aborsi. Yaitu memperbolehkan aborsi untuk korban perkosaan dan aborsi atas dasar indikasi medis.

Aturan turunan penyelenggaraan aborsi aman tersebut juga telah ada di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, serta Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kedaruratan Perkosaan.

Namun, belum ada kejelasan penyelenggaraan aborsi aman yang telah dijamin tersebut. “Belum tersedia informasi yang jelas mengenai daftar fasilitas pelayanan kesehatan yang menyediakan aborsi aman, bermutu dan bertanggung jawab. Misalnya puskesmas, klinik pratama, klinik utama atau yang setara, dan rumah sakit,” ujar Peneliti ICJR Maidina Rahmawati dalam keterangan tertulis, Kamis (10/12).

Dalam tataran normatif, kebijakan tersebut dibuat tidak sinkron satu sama lain. Aturan terkait kriminalisasi saat ini masih ada dalam tiga undang-undang berbeda. Dari KUHP, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam tataran politik hukum, kriminalisasi perempuan pelaku aborsi masih diperkenalkan oleh RKUHP, tanpa adanya upaya sinkronasi secara komprehensif.

“RKUHP versi full September 2019 dalam Pasal 469 jo Pasal 471 mengkriminalisasi setiap perempuan yang menggugurkan kandungan,” tutur Maidina.