Nasib PT Inuki di bawah "kendali" BRIN: Akses ditutup, terpaksa impor

Sejak akhir tahun lalu, PT Inuki tak bisa lagi mengakses fasilitas reaktor di kawasan Puspitek, Serpong.

Seorang pranata nuklir melakukan pembuatan pelet dari serbuk uranium untuk dijadikan bahan bakar reaktor nuklir di kawasan Reaktor Nuklir Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (11/9/2019). /Foto Antara

Sejak Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memegang penuh kendali semua fasilitas lembaga riset non-kementerian (LPNK), PT Industri Nuklir Indonesia atau Inuki (Persero) tak bisa lagi berbisnis secara normal. Sejak akhir tahun lalu, PT Inuki dilarang memasuki kawasan reaktor di Pusat Penelitian Ilmu dan Pengetahuan (Puspiptek) Serpong, Tangerang, Banten.

“Sejak Desember (2021), untuk (produksi) radioisotop maupun radiofarmaka itu berhenti karena, memang dari BRIN, kita (INUKI) tidak diberi izin untuk menggunakan reaktor untuk sementara ini,” ujar sumber internal dari PT Inuki yang enggan disebut namanya kepada Alinea.id, Rabu (30/3).

Sebagai mitra Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) yang kini dilebur ke BRIN, PT Inuki sebelumnya bebas mengakses reaktor. PT Inuki butuh akses ke reaktor untuk memproduksi radioisotop, radiofarmaka, hingga elemen bahan bakar nuklir (EBN) yang dibutuhkan untuk pengoperasian reaktor. 

Didirikan sejak 1996 untuk hilirisasi riset, perusahaan pelat merah itu punya kantor di kawasan Puspiptek. Pada 2015, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mewajibkan Inuki membayar sewa kepada BATAN karena kantor PT Inuki berada di atas lahan milik negara. Per tahun, nilai sewa lahan yang ditetapkan BPK sebesar Rp900 juta. 

Berbasis laporan BPK pada 2015, BRIN menganggap PT Inuki punya utang ke negara sebesar Rp8,1 miliar. Angka itu diperoleh dari akumulasi uang sewa lahan selama 9 tahun, yakni dari 2014 hingga 2022. "Padahal, temuan BPK itu tahun 2015," kata sang sumber.