Kebijakan pemusatan periset yang dikeluarkan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko (LTH) akhir tahun lalu mulai berdampak. Sejumlah peneliti mengeluhkan tak punya job desk yang jelas saat dipindah dari home base daerah ke pusat-pusat riset di Jakarta dan kota-kota sekitarnya.
Salah satunya ialah Harsisto, periset senior dari Pusat Riset Material Maju, Organisasi Riset Nantoteknologi dan Material. Saat ini, Harsisto tengah menjalani penempatan sementara Kantor Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur.
Harsisto termasuk satu dari 688 profesor yang dimiliki BRIN. Ia pakar di bidang korosi dan metalurgi. Sebelum bergabung jadi peneliti di BRIN, Harsisto bekerja di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Serpong, Tangerang Selatan. Di sana, Harsisto berhak atas satu unit rumah dinas.
"Tahun ini, dengan kebijakan ala Gen Z, disuruh pindah rumah. Diminta kosongkan. Padahal, (periset) yang disuruh (mengosongkan rumah dinas) masih aktif dan belum pensiun," kata Harsisto kepada Alinea.id, Minggu (1/6).
Harsisto juga merupakan satu dari belasan periset BRIN yang menggelar aksi unjuk rasa di kantor pusat BRIN di kawasan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pekan lalu. Di tuntutan-tuntutan antara lainnya, Harsisto dan kawan-kawan meminta agar Laksana Tri Handoko dicopot dari jabatannya.
Selain melepas rumah dinas, Harsisto juga terpaksa meninggalkan laboratorium tempat ia sehari-hari bekerja karena kebijakan pemusatan periset yang dikeluarkan LTH. Yang terpahit, Harsisto dipindah di ke bidang yang bukan kompetensinya.
Tak mau menyerah dengan keadaan, Harsisto minta digeser ke Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih agar ilmunya bisa terpakai. "Tapi, saya tidak dianggap dan dibiarkan jadi pengangguran intelek yang akhirnya dikarantina di Rawamangun sampai nanti 1 Juli 2025," kata Harsisto.
Karena "ngeyel" meminta pindah ke pusat riset lain, Harsisto diganjar pemotongan tunjangan kinerja (tukin) hingga sebesar 40%. Namun, Harsisto tak mau ambil pusing dengan sanksi itu. Menurut dia, yang terpenting ia bisa tetap menciptakan karya sesuai dengan bidang keilmuannya.
"Sejak lima tahun yang lalu, saya kerja hampir 24 jam per hari yang hasilkan minimal 25 paten yang sangat dibutuhkan 285 juta rakyat Indonesia. Saya minta dana rancang bangun. Tapi, tidak pernah direspons (pimpinan BRIN). Ya, akhirnya cari modal sendiri," kata Harsisto.
Mantan peneliti fisika terapan LIPI Achyar Oemrey membenarkan situasi pelik yang tengah dihadapi para periset di BRIN. Achyar mengaku mendapat banyak keluhan dari rekan sejawatnya yang masih aktif jadi periset di BRIN.
Para periset, kata Achyar, frustasi karena ditarik ke pusat secara sepihak. Di lain sisi, banyak alat di laboratorium-laboratorium daerah milik BRIN yang rusak karena tidak terawat. Ia mencontohkan rusaknya peralatan di kompleks riset eks LIPI di kawasan Sangkuriang, Bandung, Jawa Barat, karena renovasi salah satu gedung.
"Ini masif terjadi di banyak pusat riset. Bekas laboratorium metalurgi itu banyak alatnya ditaruh di luar saat tim dari BRIN datang. Labolatorium milik (eks) BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) juga banyak yang rusak," kata Achyar kepada Alinea.id.
Achyar berpendapat kebijakan pemusatan periset yang dikeluarkan Kepala BRIN keliru. Menurut dia, tak semestinya para periset dijauhkan dari laboratorium dan objek-objek yang mereka teliti. Dalam jangka panjang, kebijakan itu bakal fatal bagi keberlangsungan riset.
"Logikanya gini, kalau dia peneliti perikanan, dia harus lebih banyak di mana? Laut atau gunung? Ya, laut. Tapi, ini semua harus berkantor di Jakarta. Buat apa? Periset itu harus dekat dengan apa yang ditelitinya. Termasuk harus dekat lab," kata Achyar.
Achyar berharap Kepala BRIN membatalkan kebijakan sentralisasi periset di Jabodetabek. Jika dipertahankan, sentralisasi periset akan bikin para peneliti semakin "mandul". Situasi itu sudah terlihat sejak Puspitek tak lagi ramai dikunjungi pengusaha swasta.
"Dulu waktu saya masih di LIPI, banyak industri yang datang untuk melihat riset kita. Salah satu yang paling saya ingat adalah pemilik perusahaan PT. Sido Muncul Irwan Hidayat. Dia mondar-mandir ke Puspiptek, Serpong untuk melihat alat yang bisa membantu industrinya. Pemandangan itu sekarang tidak ada," kata Achyar.
Renggangnya relasi BRIN dengan industri karena persoalan tata kelola tidak hanya terlihat di Puspitek saja. Banyak pusat riset milik BRIN yang seolah hanya jadi gudang penyimpanan alat riset. Salah satunya di laboratorium milik Pusat Riset Teknologi Tepat Guna (PRTTG) di Subang, Jawa Barat.
"Di sana (PRTTG) sudah tidak seaktif dulu. Perisetnya ada, tapi hanya duduk-duduk saja karena memang tidak banyak dukungan dari BRIN," kata Achyar.
Dalam sebuah siniar yang tayang di akun YouTube BRIN, akhir Mei lalu, LTH berdalih BRIN masih memformulasi penempatan para periset. Ia mengakui masih ada periset yang menganggur karena tidak semua formasi bisa diisi oleh semua peneliti di BRIN.
"Nah, otomatis ada konsekuensi. Ada sebagian pegawai yang belum mendapatkan penempatan. Itulah yang kami tempatkan di penempatan sementara," kata Handoko.