Kala aktivis berbasis keagamaan ikut bersuara soal krisis lingkungan

"Ketika agama dibawa-bawa, artinya ada hal yang urgent yang perlu ditangani bersama."

Unsplash

Pengarusutamaan ekonomi ekstraktif, seperti hilirsasi pertambangan, yang dilakukan pemerintah turut menyebabkan krisis iklim lantaran kian tinggi lepasan emisi ke atmosfer. Bencana ekologis yang terjadi pun berlipat ganda.

Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), emisi sektor energi nasional meningkat lebih dari 2 kali lipat dibandingkan permintaan energi dalam 20 tahun terakhir. Bahkan, sektor energi menghasilkan 600 juta ton CO2 pada 2021 sehingga Indonesia menjadi penghasil emisi terbesar ke-9 di dunia.

Selain itu, hilirisasi pertambangan mineral kritis, seperti nikel, juga menyebabkan deforestasi hingga 25.000 ha dalam 20 tahun terakhir dan bakal melonjak mengingat pemberian luas konsesi di dalam kawasan hutan menembus 765.237 ha, yang diperkirakan akan menambah 83 juta ton emisi CO2. 

Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Didin Syafruddin, menyampaikan, solusi krisis lingkungan hidup tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah dan politikus. Inilah yang melatarbelakangi munculnya gerakan Religious Environmentalisme Action (REACT).

"Sudah mulai tumbuh gerakan lingkungan berbasis keagamaan. Ketika agama dibawa-bawa, artinya ada hal yang urgent yang perlu ditangani bersama," katanya, Kamis (22/2).