Kebijakan sertifikat pranikah bebani masyarakat adat

Pernikahan masyarakat adat masih belum diakui negara.

Sejumlah anak mengenakan pakaian adat dari Indonesia bagian timur saat mengikuti pawai kebangsaan dan budaya dalam rangka Peringatan Sumpah Pemuda ke-91 di Semarang, Jawa Tengah, Senin (28/10). /Antara Foto

Kebijakan sertifikasi pranikah yang rencananya bakal diberlakukan pada 2020 dikritik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Menurut Staf Divisi Pembekalan Kasus Direktorat Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM AMAN Tommy Indyan, kebijakan tersebut bakal memberatkan masyarakat adat. 

"Ada sertifikasi pranikah, sementara orang adat nikahnya aja belum dianggap legal. Pernikahan adat ini dianggap pernikahan yang belum legal, secara hukum negara," kata Tommy saat ditemui Alinea.id di Jakarta, Minggu (17/11/2019).

Menurut Tommy, sebaiknya pemerintah harus fokus terlebih dahulu terhadap pemenuhan hak-hak dasar masyakarat adat, semisal mendapatkan dokumen KTP dan akte lahir. 

"Anda boleh saja mengatur hal lain, tapi yang syarat utama penuhin dulu. Kasih akte lahir, kasih buku nikah, agamanya dicantumkan," imbuh Tommy.

Rencana mewajibkan sertifikasi pranikah sebelumnya dilontarkan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan dan Kemanusiaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy. Menurut Muhadjir, sertifikasi pranikah tersebut bakal berlaku bagi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat adat.