PPATK: Potensi kerugian negara 20-40% dari GDP karena pidana perekonomian

Urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset penting untuk menindak pidana perekonomian

Foto tangkapan layar Kepala PPATK Dian Ediana Rae membuka diskusi disiarkan channel Youtube Kanal Pengetahuan FH UGM, Rabu (7/4).

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK, Dian Ediana Rae, mengatakan, Indonesia belum maksimal dalam memberantas tindak pidana ekonomi dan pencucian uang. Padahal, ganguan dari pidana perekonomian luar biasa.

"Kalau kita bicara mengenai shadow economy, maka menurut analisis dari berbagai lembaga internasional untuk negara seperti kita, potensi kerugian negara yang ditimbulkan itu sekitar 20-40% dari GDP (gross domestic product)," ujarnya membuka diskusi disiarkan channel Youtube Kanal Pengetahuan FH UGM, Rabu (7/4).

Dian berpendapat, kondisi tersebut sangat menganggu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu, imbuhnya, sejak 2003 PPATK menginisiasi Rancangan Undang-undang tentang Perampasan Aset.

Dia mengatakan, urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset penting untuk menindak pidana perekonomian. Hal itu karena selama ini Indonesia belum punya instrumen yang membuat pelaku kejahatan ekonomi jera.

"Mengejar-ngejar penjahat ekonomi itu menjadi prioritas, sehingga mereka mungkin kebanyakan pasang badan. Kemudian di penjara sekitar lima tahun atau tiga tahun. Setelah itu selesai, keluar asetnya masih banyak yang tersisa," ucapnya.